Mohon tunggu...
Akhmad Bumi
Akhmad Bumi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjuangan Masyarakat Adat Dolulolong, Mengukuhkan Identitas Masyarakat ber-Adat

24 September 2018   20:59 Diperbarui: 24 September 2018   22:41 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

1. Sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada. Mengenai hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, suatu masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika kenyataanya memenuhi unsur;

- Masyarakat masih dalam bentuk peguyuban (rechtsgemeenschap). Peguyuban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan oleh orang-orang yang sefaham untuk membina persatuan (kerukunan) diantara anggotanya. Masyarakat adat Dolu dalam bentuk peguyuban, berhimpun dalam suku atau marga baik kecil maupun besar, kemudian suku-suku atau marga-marga tersebut dihimpun dalam lima suku besar yang disebut "Kaleq Leme" dengan fungsinya masing-masing.

- Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya (Lembaga Adat). Lembaga Adat adalah wadah masyarakat adat yang dibentuk oleh masyarakat hukum adat, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan adat sendiri dan berhak mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat. Masyarakat adat Dolu memiliki perangkat Lembaga Adat yang dibentuk berdasar Keputusan Kepala Desa dan berlaku dari tahun ke tahun hingga sekarang yang salah satu tugasnya adalah mengurus hak ulayat masyarakat adat Dolulolong.

-Ada pranata dan perangkat hukum adat, yang masih ditaati. Pranata hukum adat berfungsi untuk memutus maupun mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat. Sebelum adanya UU Desa yang mengakui keberadaan kelembagaan pranata hukum adat, jauh hari sebelumnya sanksi adat sudah ada dan masyarakat adat Dolulolong masih mengakui sanksi adat sampai saat ini. Sanksi dan denda adat bagi masyarakat adat yang melanggarnya. Sanksi adat dalam masyarakat adat Dolulolong diterapkan sampai saat ini dalam berbagai kehidupan bagi masyarakat adat Dolulolong, seperti perkawinan (belis), sengketa pengelolaan tanah adat, kematian, pengeloaan hutan, dll.

-Masih mengadakan pemungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hasil hutan adalah segala material yang didapatkan dari hutan, seperti kayu potong, kayu bakar, demikian juga hasil hutan non kayu (hasil hutan yang dihasilkan tanpa menebang pohon). Pemungutan hasil hutan masih berlaku bagi masyarakat adat Dolu, seperti senso kayu, pencarian kayu bakar atau kayu potong, diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat adat.

2. Sesuai kepentingan nasional dan Negara. Untuk syarat ini sudah dilakukan berulang kali oleh masyarakat adat Dolulolong, masyarakat adat Dolulolong memberi hibah untuk kepentingan umum tidak pernah ditukarkan dengan rupiah dan hal ini berlaku sejak dahulu kala. Untuk kepentingan umum dan Negara, masyarakat adat Dolulolong melakukan  hibah untuk pembangunan kantor pemerintah dan swasta maupun kepada warga yang membutuhkan. 

Hibah untuk pembangunan Kantor Koramil 1624-04 Lembata Timur di Balauring, hibah untuk pembangunan Asrama para anggota Koramil 1624-04 Lembata Timur di Balauring, hibah untuk pembangunan PLN Omesuri, hibah untuk pembangunan KUD Balauring, hibah pembangunan kantor Camat (lama), hibah untuk pembangunan Masjid Al-Munawwarah Wuaq Ikang Balauring, hibah untuk pembangunan Gereja Katolik di Balauring, hibah untuk pembangunan BKIA di Balauring, hibah untuk pembangunan Puskesmas Balauring, dan sekitar 70% penduduk Desa Balauring yang riwayat perolehan hak atas tanah diperoleh melalui hibah dari masyarakat adat Dolulolong, selain tanah pekarangan untuk pembangunan rumah tempat tinggal juga untuk keperluan atau sebagai lahan pertanian kepada petani penggarap yang sudah berlangsung sejak dahulu kala.

3. Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi. Persyaratan ini tidak sulit karena Negara mengakui keberadaan hak-hak tradisional (adat) sepanjang masih hidup sesuai pasal 18b ayat (2) UUD 1945, jika ada UU atau peraturan lain dibawahnya yang tidak mengakui hak-hak tradisional (hak ulayat) maka UU atau peraturan tsb bertentangan dengan UUD 1945 (inkostitusional).

Jika hak ulayat tsb memenuhi syarat sebagaimana dikehendaki Undang-undang, apa Balauring berada dalam kawasan hak ulayat Dolulolong?

Balauring sebelum menjadi desa definitif (desa sendiri) tahun 1960, Balauring masih berada dalam desa Dolulolong dengan sebutan istilah Leu Ote, Wata Noq (artinya, kampung Dolulolong, pantai Balauring), atau dengan sebutan lain dusun dari desa Dolulolong, dulu masih berada dalam kecamatan Lomblen Timur dengan ibu kota  Hadakewa, kabupaten Flores Timur. 

Pemekaran menjadi kecamatan Omesuri terjadi pada tahun 1964, bersamaan dengan kecamatan Buyasuri, Kecamatan Ile Ape, Kecamatan Atadei dan Kecamatan Nagawutun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun