Mohon tunggu...
Akhmad Bumi
Akhmad Bumi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjuangan Masyarakat Adat Dolulolong, Mengukuhkan Identitas Masyarakat ber-Adat

24 September 2018   20:59 Diperbarui: 24 September 2018   22:41 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di sebelah timur dari wei edang (sumur) sekitar 200 meter, ada namanya "wei laong". Wei Laong artinya kali anting-anting telinga. Bagi masyarakat adat Dolulolong meyakini wei laong dikawal ular naga, ara bora. Akarnya menjalar ke laut. Jika malam hari lewat dengan perahu, orang dapat lihat cahayanya pada dasar laut. Dan jika melanggar dikawasan tersebut perlu ameq sabong, wajaq dopi (minta permisi). Pohon yang tumpuh di wei laong itu berasal dari biji mata musang (mato uluq). Uluq artinya bibit. Mato-matan artinya asal mula kekayaan. Olehnya laut tidak bisa dicemari, dirusak dan lain-lain.

Ikan dilaut adalah harta kekayaan untuk anak cucunya. Jika tidak merawat laut dan darat sama dengan tidak merawat mereka. Untuk menerjemahkan istilah dan keyakinan masyarakat adat tersebut butuh kajian yang komprehensif baik dari aspek teologis, budaya dan aspek-aspek lain.

Tempat tinggal warga Dolulolong tepatnya diatas punggung yang dibelah kedua lembah air tanah. Diatasnya, dari kampung sekarang disebut leu tuang (kampung lama). Kampung lama (leu tuang) oleh warga adat setempat tidak bisa ditempati, tapi ditanami tanaman atau pohon umur panjang dan rindang. Jarak tempat tinggal warga dengan kedua sumur yang disebutkan diatas sekitar kurang lebih 300 sampai 500 meter. Cara mengambil air dengan cara menjunjung disetiap pagi dan sore. Terkadang menggunakan jasa ojek. Memasuki kampung kecil tersebut, dipintu gerbang tertulis "Selamat Datang di Desa Bersejarah Dolulolong".

Sekitar 200 meter dari gerbang pintu masuk, kearah utara kita akan memasuki rumah adat yang disebut Nubanara. Disitu tertulis "Nuba Sili Kiti, Nara Laha Lowa" dari arah timur, dari arah barat tetulis "Ang Baa-Ular Doro". Dikelilingi tembok yang tersusun dari "batu biri" setinggi 2 sampai 3 meter. Di dalam Nubanara, ada lima kursi tersusun dari "batu biri / sejenis batu tipis", kursi yang tersusun dari batu tersebut adalah singgasana para tetua adat yang dipersimbolkan pada lima kaleq (lima kabilah adat).

Lima Kaleq berjalan sesuai dengan fungsi masing-masing. Fungsi pemerintahan dan adat, Agama, keamanan kampung (kapitang riang), teritorial / kepala perang (kapitang duling) dan pertukangan. Terdapat rumah pertemuan adat yang diberi nama "Huna Hale" yang berbentuk panggung tanpa dinding yang berada disebelah kursi yang disusun dari batu tersebut.

Diluar Nuba Nara, sekitar 50 meter dari Nubanara ada sebuah rumah kecil disebut "Huna Biri". Lima kaleq (lima kabila) dengan pembagian fungsi masing-masing tersebut sudah ada jauh sebelum Indonesia ini merdeka.

Disebelah utara kampung mungil itu, ada tiga tanjung berjejer. Ada tanjung yang bernama "gerok tubar". Tanjung gerok tubar ditempat itu terdapat makam leluhur Dolulolong yang terletak diatas batu, leluhur tsb bernama  "Gerok Ula Hading". Dikiri kanan maqam leluhur Gerok Ula Hading diapit oleh tiga maqam orang Belanda yang dibunuh di masa peperangan tempo dulu.

Tanjung satu lagi bernama "liang utuq", disitu ada sebuah pohon besar dan sudah tua yang diberi nama "dang lapaq". Pohon "dang lapaq" ini dipersimbolkan seorang leluhur yang sebagian tubuhnya keatas berbentuk manusia dan sebagiannya lagi kebawah berbentuk naga, serta "kemaluannya" tumbuh ditengah pusat (perut), tidak sebagaimana biasa pada manusia pada umumnya.

Satu tanjung lagi disebut "tiu lewang" atau yang biasa disebut tanjung kubur buyaq Sultan Abdul Manan. Ketiga tanjung ini berjejer maqam-maqam leluhur tempo dulu. Ditanjung tiu lewang ini yang dilewati jalan wisata lintas Lohu Balauring-Dolulolong yang diprotes dan digugat masyarakat adat Dolulolong.

Di kawasan Lohu, ada sekitar 6 sampai 7 makam leluhur tempo dulu dan satu benteng yang digunakan untuk menghalau Belanda tempo dulu, era kolonial. Ada maqam Dawa Miteng. Disebut Dawa miteng karena lidahnya berwarna hitam, orang Dolulolong menyebut sebagai "pendekar" dimasanya. Selain Dawa Miteng, ada lagi leluhur Dolulolong yang membunuh Meo di arah timur, tepatnya di ape napoq. Meo adalah sebutan panglima perang dari pulau timor, didatangkan untuk membantu Belanda waktu itu. Leluhur itu bernama "Tuaq Lao", membunuh Meo lalu ususnya dibuang ditempat yang bernama lodung teing. Olehnya, keturunan leluhur "Tuaq Lao" sampai sekarang ari-ari setiap keturunan yang lahir tidak bisa ditanam tapi harus digantung.

Ada lagi tempat di Lohu yang disebut "jarang uhur", tempat seorang leluhur Dolulolong bernama inisial "Tahiq Riang". Tahiq Riang bersaudara dengan Nepa Riang dan Tarang Riang yang satu turun di Leu Utung dan satu lagi turun di Leu Wohung. Harta peninggalan leluhur itu dalam bentuk ahung (bambu kecil) yang disimpan oleh keturunanya sampai kini di Dolulolong. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun