Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digaungkan pemerintah kini menjadi topik hangat. Sejak pertama kali diumumkannya program ini sudah menuai pro dan kontra di berbagai lapisan masyarakat. Di satu sisi, MBG dianggap sebagai bentuk perhatian serius negara terhadap kesehatan dan nutrisi peserta didik terutama mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera. Di sisi lain, banyak pihak mempertanyakan kesiapan infrastruktur, mekanisme pengawasan, dan sumber daya pelaksanaannya. Program ini bukan hanya sekedar memberi makan tapi pertaruhan besar dalam membangun generasi emas Indonesia.
Jika ditilik dari kacamata ideologis, MBG merupakan upaya negara menghadirkan kebijakan afirmatif bagi siswa yang selama ini menghadapi kendala gizi. Artinya, MBG bisa relevan sebagai intervensi untuk memutus mata rantai malnutrisi. Namun, seberapa siapkah ekosistem kebijakan pelayanan dan manajemen dalam menjawab tantangan ambisius ini?
Fakta di lapangan menunjukkan realita yang tidak selalu seindah narasi di atas kertas. Hingga hari ini belum semua sekolah menerima MBG. Bahkan dalam beberapa kasus muncul kabar yang cukup memprihatinkan. Sejumlah siswa telah mengalami keracunan setelah mengkonsumsi MBG. Ini bukan hanya masalah teknis tapi menyangkut keselamatan anak-anak kita.
Masalah mendasarnya terletak pada kontrol kualitas (quality control) dan mekanisme distribusi makanan yang belum tertata rapi. Di sinilah pentingnya penerapan SOP yang ketat dan pengawasan terpadu lintas sektor.Â
Jangan sampai niat baik berubah menjadi mimpi buruk bagi para siswa dan orangtua. Dalam dunia public policy, kebijakan yang dieksekusi tanpa perencanaan matang dan evaluasi berkala seringkali justru melahirkan kebijakan yang gagal.
Jika dikelola dengan benar, MBG mungkin mampu menjadi game changer dalam ekosistem pendidikan Indonesia. Tinggal bagaimana pemerintah mampu menyempurnakan pelaksanaannya agar manfaatnya dapat dirasakan secara merata dan aman.
Program MBG adalah langkah berani yang membutuhkan sinergi, integritas, dan komitmen tinggi dari semua pihak ---pemerintah, sekolah, dapur penyedia makanan, dan masyarakat.Â
Jangan biarkan program ini menjadi sekadar proyek mercusuar tanpa pondasi yang kokoh. Jika kita ingin membangun masa depan anak-anak yang sehat dan cerdas maka makan bergizi harus jadi prioritas.Â
Tapi ingat, gizi itu soal kualitas. Jangan asal kenyang, tapi harus benar-benar sehat.
"Ngeri-ngeri Sedap" Menanti MBG Datang
Program MBG yang semula akan disambut dengan harapan tapi kini mulai menyisakan rasa was-was. Beberapa sekolah yang belum menerima program ini mulai berpikir. "Apakah sekolah akan siap menerimanya?"Â