Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar kosku malam itu. Aku menatap layar ponsel, menunggu panggilan video dari Ayah. Seperti biasa, setiap malam selama bulan Ramadhan, aku dan Ayah selalu menyempatkan waktu untuk berbicara meskipun hanya lima atau sepuluh menit. Aku satu-satunya anak yang merantau, sedangkan saudara-saudaraku semua masih tinggal di kampung bersama Ayah dan Ibu.
Ponselku bergetar, panggilan video masuk.
"Assalamu'alaikum, Yah!" sapaku ceria, meskipun aku tahu dalam hatiku selalu ada rindu yang tak terkatakan.
"Wa'alaikumussalam, Nak. Sehat di sana? Makan sahurnya jangan sampai telat, ya," suara Ayah terdengar lembut menenangkan seperti biasa.
Aku tersenyum. "Iya, Yah. Ayah bagaimana? Sehat kan?"
Ayah mengangguk pelan. "Alhamdulillah, masih diberi kesehatan. Disini cuaca lagi dingin. kayaknya bentar lagi masuk musim hujan."
Aku melihat wajah Ayah yang mulai menua. Kerutan di dahinya makin dalam dan rambutnya sudah hampir seluruhnya memutih. Tapi senyum itu masih sama, senyum yang selalu membuatku merasa tenang sejak kecil.
"Nak, Ayah mau bilang sesuatu," ujar Ayah tiba-tiba dengan suara lebih serius.
"Apa, Yah?"
"Jangan lupa sholat lima waktu, jaga silaturahmi sama teman-teman, dan yang paling penting, tetap rendah hati meskipun kamu sukses di rantau orang," nasihat beliau penuh makna.