"Ayah... Ayah... Aku masih mau denger suara Ayah... Aku masih butuh Ayah..." suara tangisku menggema di ruangan yang penuh duka.Â
Tapi ayah telah mendidikku dan mengajarkanku banyak hal dengan sangat baik.Â
Tak lama, aku bangkit ikut memandikan, mengkafani, mengangkat tandu sampai ke mushola, lalu aku lah yang mengimami shalat jenazah untuk ayah.
Saat pemakaman, aku berdiri di samping liang lahat, melihat tubuh Ayah perlahan-lahan ditutupi tanah. Aku ingin berteriak, ingin menghentikan semua ini. Tapi aku hanya bisa berdiri di sana, menangis tanpa suara.
*****
Hari-hari setelah kepergian Ayah adalah yang paling berat dalam hidupku. Aku masih menyimpan foto selfie bersama Ayah dan sering memandangi foto itu.Â
Setiap kali aku makan sahur sendirian, aku berharap mendengar suara Ayah dan Ibu yang mengingatkanku untuk tidak telat makan sahurnya.
Aku kembali membuka galeri ponsel, mencari foto selfie terakhir kami. Aku menatap wajah Ayah yang tersenyum.Â
Foto itu kini menjadi satu-satunya cara bagiku untuk merasa dekat dengannya.
Ramadhan tahun lalu adalah Ramadhan terakhir kami bersama.
Aku tak akan pernah lagi mendengar suaranya saat sahur. Tak akan pernah lagi mendengar nasihatnya secara langsung. Tak akan pernah lagi memeluknya saat Lebaran.