"Yah, kita selfie, yuk!" ajakku sambil mengeluarkan ponsel.
Ayah tertawa kecil. "Ah, Ayah ini nggak terbiasa foto-foto. Tapi ya sudah, ayo."
Aku dan Ayah mengambil beberapa foto. Dalam salah satu foto, aku merangkul bahu ayah. sementara beliau tersenyum datar ke arah kamera.Â
*****
Beberapa bulan setelah Lebaran, aku menerima telepon dari kampung. Panggilan dari saudara perempuan tertuaku. Suaranya bergetar.
"Dik... Ayah... Ayah udah nggak ada..."
Dunia seakan runtuh. Tubuhku gemetar. Aku tidak bisa berkata-kata dan hanya meraung.
Dan suara Kakakku juga pecah oleh isak tangis.
Aku terduduk. Ponsel hampir jatuh dari genggaman. Dadaku sesak. Aku menangis karena rasa kehilangan yang menyelimuti.
Aku segera pulang. Perjalanan terasa sangat panjang. Ketika tiba di rumah, aku melihat tubuh Ayah terbaring di ruang tengah ditutupi kain putih. Aku berjalan mendekat, membuka kain itu perlahan. Wajah Ayah tampak damai, seolah hanya tidur nyenyak. Namun kali ini, beliau tak akan pernah bangun lagi.
Aku menangis. Tangisan yang tak tertahan. Aku menggenggam tangan Ayah yang dulu selalu menggenggam tanganku saat aku kecil. Aku memeluknya untuk terakhir kali, mencium keningnya yang dingin.