Aku terdiam, mencerna kata-kata itu. Ayah memang sering menasehatiku. tapi kali ini rasanya berbeda. Ada kehangatan sekaligus kesedihan yang tak bisa kujelaskan.
"Iya, Yah. Aku akan selalu ingat," jawabku pelan.
Ayah tersenyum. "Ramadhan tahun ini beda, ya? Dulu waktu kecil, kamu selalu ikut Ayah tarawih ke masjid. Sekarang kamu udah jauh disana."
Aku tertawa kecil. "Iya, Yah. Aku kangen suasana Ramadhan di rumah. Tarawih bareng Ayah, makan sahur rame-rame bareng semua anggota keluarga. Tapi tenang, insya Allah aku pulang Lebaran nanti."
Mata Ayah tampak berbinar. "Alhamdulillah. Ayah tunggu, ya."
*****
Lebaran pun tiba. Seperti janjiku, aku pulang ke kampung. Begitu turun dari mobil travel, aku melihat sosok Ayah berdiri di depan rumah.
"Ayah!" Aku berlari kecil menghampirinya.
Ayah tersenyum lebar. "Akhirnya pulang juga ya."
Kami berpelukan erat. Aku bisa merasakan tubuh Ayah yang semakin kurus tapi pelukannya tetap hangat. Seperti pelukan yang dulu selalu membuatku merasa aman.
Di rumah, suasana Lebaran begitu hangat. Aku kembali menjadi anak kecil yang menikmati rendang buatan Ibu, bercanda dengan saudara-saudaraku, dan tentu saja, menghabiskan waktu dengan Ayah.