Di dalamnya, api kemerdekaan mungkin kecil, tapi ia nyata---dan masih menyala.
Api Merdeka, Merdeka Apa? bukan hanya buku. Ia adalah nyala batin kolektif para penulis Jawa yang menolak menjadi abu.
Dalam setiap halaman, ada keberanian untuk berkata jujur, menulis meski getir, dan percaya bahwa literasi adalah bentuk tertinggi dari kemerdekaan manusia.
-000-
Pada akhirnya, Api Merdeka, Merdeka Apa? bukan sekadar antologi sastra, melainkan napas panjang nurani bangsa.
Dari Swary Utami Dewi yang menggugat "garis kemiskinan yang tak manusiawi," hingga Dhenok Kristianti yang menyalakan kembali Agni Brata kepemimpinan, buku ini menjadi cermin bagi negeri yang tengah mencari makna kemerdekaannya sendiri.
Di sini, kata-kata bukan hanya alat ekspresi, melainkan bentuk perlawanan terhadap sistem yang kerap membungkam kemanusiaan di balik data, kebijakan, dan retorika pembangunan.
Membaca buku ini, kita seakan berjalan di antara dua dunia: dunia statistik yang dingin dan dunia manusia yang berdarah-daging.
Kita diajak mendengar suara ojek daring, petani, dan perempuan renta---suara yang selama ini tenggelam di balik laporan ekonomi dan janji politik.
Dari sinilah sastra kembali menemukan fungsinya: menyembuhkan yang luka, membangunkan yang diam, dan menyalakan yang padam.
Jika kemerdekaan sejati adalah kebebasan untuk hidup bermartabat, maka buku ini pengingat perjuangan itu belum selesai.