MENDENGAR SUARA KEMISKINAN DAN SEBAGAINYA
- Pengantar Buku Penulis SATUPENA dari Pulau Jawa, "Api Merdeka, Merdeka Apa?" (2025)
Oleh Denny JA
Ia bangun setiap subuh, menyapu lantai kontrakan sempit yang mulai retak di sudut-sudutnya.
Uang di dompetnya tinggal seribu lima ratus rupiah, cukup untuk membeli sebungkus nasi kucing yang akan dibagi tiga---untuk dirinya, istri, dan anak kecil yang belum mengerti arti lapar.
Ia tak pernah mengeluh. Hanya kadang bertanya dalam hati, mengapa negara menyebutnya "tidak miskin."
Ia bekerja dua belas jam sehari, mengantar paket dan harapan orang lain, sementara mimpinya sendiri tertinggal di lampu merah.
Ketika membaca berita bahwa angka kemiskinan menurun, ia menatap layar ponselnya lama-lama, seperti menatap dirinya yang tak pernah tercatat.
Di lembar statistik, ia hanyalah angka yang disesuaikan agar grafik tampak indah. Tapi di dunia nyata, ia adalah manusia yang menggigil di bawah jembatan, menunggu fajar yang tak kunjung memberi terang.
Sebab kemiskinannya telah dihapus---bukan dari hidup, tapi dari laporan negara.
Situasi inilah yang terbayang ketika saya membaca esai "Garis Kemiskinan yang Tak Manusiawi" karya Swary Utami Dewi (Tami).