*MEMBACA JEJAK KOTA BATU*_
(Pamflet jejak --- membaca batu, membaca waktu, membaca jiwa kota)_
_oka swastika mahendra_
Pada _lereng Panderman_ bermula,
hutan merekah, kabut mengundang doa,
di kaki gunung kau dengar nama-nama purba
yang berbisik di daun dan batu.
Kata mereka:
_di abad kesepuluh,_
_kamu adalah tempat peristirahatan kerajaan Medang,_
_seekor angin dingin di dada pegunungan,_
_sumber mata air di Songgoriti dingin, lalu hangat,_
_ketika candi Supo membasuh keris para raja._
Batu
bukan sekadar bebatuan,
namamu berasal dari Mbah Wastu,
dahulu dikenal ulama pengembara,
murid Pangeran Diponegoro,
berpindah untuk menyelamatkan ruh dari tirani.
Masyarakat sering mempersingkat namanya:
_Mbah Tu, Mbatu, akhirnya "Batu"_
itulah kau menyatu dalam lidah rakyat
Di makammu
Banaran, Desa Bumiaji
orang datang menapak langkah
mencari restu, menabur doa
berziarah, mendengarkan pusaran angin keramat
Batu pernah bernama wilayah Kabupaten Malang
kecamatan di antara pegunungan
yang kemudian diangkat menjadi kota administratif (6 Maret 1993)
dan akhirnya kota otonom (17 Oktober 2001).
Di kota kecil ini
emosi sejarah meletup di trotoar
arsitektur lama beradu dengan vila modern
apel jatuh di pekarangan
pedagang souvenir menawar di pasar kota
Kau sebut _"Swiss Kecil di Pulau Jawa",_
karena udara dinginmu merindukan hari-hari kerajaan.
Di setiap batu lantai alun-alun
kau simpan bekas tumpuan sandal peziarah
di setiap pelataran pasar
kau dengar tawa pedagang buahmu
apel-apel manismu dari lereng tinggi
Tapi juga
kau simpan luka:
ketimpangan yang tak ditulis panduan kota,
kesenjangan antara monumen dan kampung pinggir,
antara vila wisata dan rumah petani.