Puisi EsaiJEJAK 24 TAHUN BATU: NYANYIAN OTONOMI DAN TANTANGAN LESTARI
Oleh: Akaha Taufan Aminudin
I. Wajah Sejuk, Jantung Perjuangan
Kota ini,
bukan sekadar kumpulan kabut pagi,
atau deret apel malang yang ranum di lereng.
Batu,
adalah cerita yang lahir dari rahim aspirasi,
sebuah momentum yang tak hanya hitungan kalender,
namun cermin jiwa yang berani memilih nasib sendiri. MengEMASkan Indonesia.
Di Balai Kota Among Tani,
tempat sarasehan Pokja bersua,
para pemikir, pengingat, dan pemimpi duduk melingkar.
Peringatan ke-24 tahun, sebuah bilangan seperempat abad yang mendekat,
menggema pertanyaan purba:
"Apakah siap bertanggung jawab?"
(Drs. Sumiantoro mengenang, suaranya mengandung janji).
Mereka menjawab, "Siap."
Bukan sekadar kesiapan administrasi, kawan,
tapi tekad kolektif untuk mengendalikan nasib di tangan sendiri.
Inilah pondasi otonomi: kesadaran bersama,
sebuah kota yang berdiri di atas kehendak rakyatnya,
bukan sekadar pena dan peta kekuasaan.
Dari Imam Kabul ke Aries Agung Paewai,
jejak diletakkan, dan amanah diwariskan.
II. Simfoni Kritik dan Pembangunan Berkelanjutan
Namun, nyanyian otonomi tak boleh menjadi lagu tidur.