Puisi Esai
ROBOHNYA BANGUNAN PESANTREN
TIANG KECIL DI ATAS HARAPAN
Oleh: Akaha Taufan Aminudin
Tiang kecil berdiri terhuyung,
Membawa beban cerita kelam,
Pondok yang seharusnya jadi pelita,
Menjadi makam luka yang dalam.
Santri muda berpeluh cor,
Tubuh yang lemah dipaksa bertahan,
Apakah ini suara takdir?
Atau jeritan bisu kelalaian?
Ketika tangan yang tak terlatih,
Menggenggam harapan di dalam semen,
Keadilan mengapa kau diam?
Saat nyawa menari di ambang kesedihan?
Mari bangkit, jangan diam,
Suara kita bukan bisu,
Puisi ini adalah seruan,
Untuk dunia yang adil dan pilu.
Puisi Esai ini lahir dari sebuah kegelisahan yang nyata. Kabar tentang robohnya bangunan di pesantren, atau santri yang kehilangan nyawa karena terlibat dalam pembangunan fisik pondok, bukan lagi cerita asing. Tiang kecil yang semestinya menopang harapan justru menjadi saksi luka. Yang roboh bukan sekadar beton, melainkan nurani kita bersama.
Pondok pesantren sejak dahulu menjadi cahaya bangsa. Dari situlah lahir ulama, cendekiawan, dan pemimpin. Namun, ketika santri dipaksa bekerja sebagai buruh bangunan tanpa keterampilan, kita perlu bertanya: apakah ini benar pengabdian? Ataukah ini sebuah bentuk kelalaian yang dibungkus dengan dalih "belajar hidup sederhana"?
---
Suara Batin dan Refleksi Personal