Mohon tunggu...
Akaha Taufan Aminudin
Akaha Taufan Aminudin Mohon Tunggu... Sastrawan

Koordinator Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR

Selanjutnya

Tutup

Book

Transformasi Jiwa Berkobar: Artificial Intelegence Mengubah Peran Penulis di Era Modern.

19 September 2025   09:00 Diperbarui: 19 September 2025   09:00 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo Akaha Taufan Aminudin Koordinator SATUPENA JAWA TIMUR INDONESIA 

Transformasi Jiwa Berkobar:
Artificial Intelligence Mengubah Peran
Penulis di Era Modern

Akaha Taufan Aminudin

Dalam sudut jalan yang sunyi di Bandung, Toko Buku Togamas  Buah Batu dan Toko Buku Gunung Agung telah mengalami
akhir yang menyedihkan. Ini menandai hilangnya tidak hanya tempat untuk menjelajahi dunia kata-kata, tetapi juga tumpuan bagi para penulis dan pembaca.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan lonjakan popularitas kecerdasan buatan (AI), sektor literasi dan penulisan mengalami
perubahan yang mendalam.

Kematian toko buku bukanlah sekadar akibat dari penjualan online yang merajalela, tetapi juga mencerminkan krisis lebih dalam dalam ekosistem literasi.

Para penulis, menurut survei terbaru, sering kali hanya menerima royalti yang sangat minim,
sementara biaya produksi semakin meningkat dan distribusi masih terbatas.

Data dari Eropa hingga Amerika memberi peringatan keras:  hanya 1% penulis yang bisa menggantungkan hidup dari katakata mereka. Jangan sesali 99% lainnya yang tersingkir---sebab tulisan mereka adalah lilin kecil di lorong gelap peradaban, yang menerangi lebih banyak daripada sekadar angka di rekening

Di tengah dunia di mana mesin dapat menulis naskah dalam hitungan detik, pertanyaan mendasar pun muncul. Di mana posisi penulis saat ini? Jika AI bisa merangkai kalimat sempurna, menulis puisi penuh rona emosi, bahkan novel romantis yang bikin hati bergetar, apakah penulis manusia sudah usang?

Apakah penulis hanya mengejar haluan komersial ataukah masih memupuk makna dari tulisan mereka? AI mungkin mampu merangkai kata-kata dan menyusun cerita dengan
cermat, namun kehadiran manusia dalam proses kreatif tetap tak tergantikan.

Dalam era di mana AI mengambil alih beberapa tugas kreatif, penulis dibagi menjadi dua kelompok utama. Penulis Komersial
yang harus berkolaborasi dengan teknologi untuk tetap relevan, serta Penulis Pencerah yang mengejar penulisan bukan untuk
keuntungan materi, melainkan sebagai ungkapan batin dan warisan budaya.

Ada dua golongan penulis: mereka yang menulis demi bertahan ekonomi---yang mesti menjadi "arsitek narasi" dengan tangan
dan hati yang membaurkan sentuhan manusia pada naskah AI---dan mereka yang menulis demi menerangi gelap jiwa tanpa berharap royalti.

Bayangkan penulis komersial sebagai seorang kapten kapal di samudra teknologi. Ia harus belajar menavigasi badai AI, menggunakan alat baru---AI sendiri---untuk mengasah naskah
dingin menjadi hangat, berjiwa, dan bernyawa.

Membentuk komunitas pembaca langsung, membangun ekosistem sendiri yang tak mudah digoyahkan teknologi. Kuncinya adalah otentisitas---suara unik yang tak bisa digandakan mesin.

Sementara penulis pencerah adalah para pelukis zaman yang meninggalkan jejak batin. Mereka bukan penjaga pasar, melainkan penjaga makna. Lenyapnya penghasilan mungkin nyata, namun api jiwa tetap berkobar tanpa pamrih.

Tantangan terbesar bagi penulis saat ini adalah menemukan keseimbangan antara menulis untuk hidup dan menulis untuk
menghidupi jiwa.

Meskipun AI berevolusi dengan cepat, tulisan
yang berasal dari kedalaman hati manusia tetap memiliki daya tarik dan kekuatan yang tak terbantahkan.

Isu ini juga memunculkan pertanyaan penting bagi asosiasi penulis. Bagaimana mereka dapat tetap relevan dan memberdayakan para penulis di era AI ini? Meskipun tidak dapat
mengubah arah zaman, mereka dapat menjadi penjaga nilai-nilai spiritual dan budaya dalam dunia literasi.

Dalam perubahan tak terelakkan menuju era digital dan kecerdasan buatan, tulisan manusia yang lahir dari perasaan, pikiran, dan pengalaman tetap menjadi cahaya kecil yang
menerangi lorong gelap peradaban. Artinya, meskipun tantangan semakin besar, esensi dari menulis tidak boleh hilang dalam era
modern yang penuh dengan algoritma dan cepatnya informasi.

Sebagaimana ditulis oleh Denny JA dalam esai-esainya yang penuh filsafat dan refleksi kehidupan, peran penulis dalam menghadapi AI adalah mengubah, bukan lenyap.

Meskipun perjalanan ke depan mungkin penuh dengan ketidakpastian, keberanian untuk tetap bersuara dan menulis dengan tulus adalah langkah pertama menuju warisan yang tak ternilai dari kata-kata yang abadi.

Ketika kita menemukan keindahan dalam kejernihan kata-kata, kita juga menemukan arti yang lebih dalam dari keberadaan kita sebagai manusia, di tengah kerasnya arus zaman yang terus berubah.

Lalu, apa yang dapat dilakukan kolektif penulis dan asosiasi?  Fokuskan diri pada peran penjaga api kecil itu---metafora tak lekang untuk menyebarkan kesadaran menulis dari hati, bukan sekadar untuk uang. Mengedukasi pentingnya menulis sebagai warisan budaya, cara menyembuhkan luka hati, dan dialog
sosial yang melampaui algoritma.

Bukanlah zaman yang membunuh penulis, melainkan ia mengubah medan perang. Penulis sejati bukan yang kalah, tapi yang mampu beradaptasi dengan jiwa terbuka dan tangan kreatif, di mana AI adalah pena yang dilampaui maknanya oleh tangan manusia.

Di era di mana kecepatan dan kuantitas menjadi raja, tulisan yang lahir dari kegelisahan, cinta, dan harapan adalah oase
yang melembapkan dahaga jiwa manusia.

Maka untuk penulis di luar sana, teruslah menulis dalam malam sunyi, walau tanpa
publisitas atau riuh gunning royalti. Karena setiap kata adalah harapan, dan setiap kisah jiwa adalah lilin kecil yang terus menyala.

Tulisan ini adalah refleksi atas karya hebat Denny JA, yang mengingatkan kita bahwa AI tidak membunuh penulis---itu hanya membuka bab baru dalam kisah panjang literasi
manusia. ***

Kota Batu Wisata Sastra Budaya,
Senin Pahing, 9 Juni 2025
Akaha Taufan Aminudin
Koordinator SATUPENA Jawa Timur
dan Kreator Era AI (KEAI) Jawa Timur.

Pegadaian MengEMASkan Indonesia 

MengEMASkan Indonesia 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun