BANDUNG, 12 JUNI 2025 -Â Nama Ridwan Kamil, seorang arsitek ternama sekaligus tokoh politik papan atas Indonesia, kini tengah diterpa badai yang menguji reputasinya hingga ke akar-akarnya. Tuduhan pribadi yang dilontarkan oleh seorang perempuan bernama Lisa Mariana telah bergulir dari ranah privat ke konsumsi publik, menyeret mantan Gubernur Jawa Barat itu kedua medan pertempuran sekaligus pengadilan hukum dan pengadilan opini publik yang tak kenal ampun.Â
Kasus ini merupakan studi kasus nyata cancel culture atau pembatalan budaya. Â Fenomena ini merujuk pada praktik boikot massal yang berani terhadap seorang tokoh publik setelah ia dianggap telah melakukan suatu tindakan atau mengakui sesuatu yang tidak dapat diterima. Hukuman sosial ini datang dengan cepat di "pengadilan media sosial", sering kali tanpa menunggu proses hukum formal, dan dapat secara signifikan merusak Citra dan karir seseorang. Situasi yang dihadapi Ridwan Kamil menunjukkan betapa dahsyatnya mekanisme ini bekerja di era digital.Â
Definisi Cancel Culture dalam Kasus Ridwan Kamil
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami terlebih dahulu apa itu cancel culture. Ini bukan sekadar kritik, tetapi gerakan kolektif untuk "membatalkan" atau menarik dukungan publik terhadap seseorang secara total. Mekanismenya diawali dengan pemicu, seperti gugatan perdata dan klaim perselingkuhan yang menjadi sorota. Isu ini kemudian mengalami amplikasi viral melalui media sosial dan media massa, yang menyebarkannya dengan sangat cepat hingga menjadi perbincangan nasional. Tahap selanjutnya adalah penghakiman publik, di mana netizen membentuk opini dan mengeluarkan "putusan" sosial berdasarkan informasi yang beredar, seringkali tanpa menunggu proses verifikasi hukum. Pada akhirnya, tekanan publik ini berdampak nyata, mulai dari reputasi yang rusak, potensi hilangnya kesempatan politik, hingga tekanan psikologis yang berat.Â
Dari Ruang Sidang ke Pengadilan Opini Publik
perseteruan ini bermula di ranah hukum: gugatan perdata yang dilayangkan Lisa Mariana di Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Ia tak hanya menuntut pengakuan hak identitas anaknya, tetapi juga ganti rugi materiil dan immateriil dengan total Rp 16,6 miliar. Kekecewaan Lisa memuncak saat Ridwan Kamil berkali-kali tak hadir dalam mediasi yang akhirnya dinyatakan buntu
"kecewa, ya kecewa. Karena seharusnya dia hadir" kata Lisa Mariana singkat di PN Bandung, seperti dikutip detikJabar (19/05/2025)Â
Namun, mekanisme kultur pembatalan mengamasyaraka. Berita dari ruang sidang menjadi bahan bakar utama mesin opini publik di media sosial. Narasi yang dibangun di ruang digital tak lagi membutuhkan pembuktian hukum yang rumit. Sentimen, informasi, dan persepsi menjadi hakimnya. Ridwan Kamil tak lagi sekadar "tergugat" di mata hukum, tetapi telah menjadi "tergugat" di mata sebagian masyarakat.Â
Dampak Ganda: Hukuman Sosial dan Taruhan Politik
Bagi politikus sekaliber Ridwan Kamil yang citranya dibangun dengan matang sebagai pemimpin yang modern, religius, dan harmonis, dampak cancel culture ini terasa di berbagai area krusial. Terjadi erosi Citra pribadi dan keluarga Karena tuduhan perselingkuhan langsung menyerang citra "family Man" yang penting dalam politik Indonesia. Selain itu, kasus ini menjadi beban politik dalam kontestasi berikutnya yang berpotensi menjadi sumber amunisi bagi lawan politik untuk menurunkan elektabilitasnya. Di saat yang sama, fokus dan sumber dayanya pun terbagi. Ia kini sengaja mengalokasikan energi untuk menghadapi proses hukum dan mengelola krisis komunikasi, termasuk dengan melaporkan kembali Lisa Riana ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik, sebagaimana dilansir detikNews (20/04/2025).Â
Pertarungan Naratif di Era Digital
Kasus Ridwan Kamil adalah contoh sempurna Bagaimana cancel kultur berjalan pararel dengan proses hukum. Fenomena ini tidak menunggu putusan pengadilan. Ia menciptakan tekanan publik yang besar, memaksa seorang tokoh untuk selalu berada dalam posisi terlindungi.
Di satu sisi, publik menuntut transparansi dari para pemimpinnya. Namun di sisi lain, kecepatan penyebaran informasi dan kecenderungan menghakimi secara Dini dapat menyebabkan kerugian materiil yang tidak dapat diperbaiki, bahkan jika pengadilan kemudian menyatakannya tidak bersalah.Â
Babak baru perseteruan ini, menunjukkan bahwa pertarungan hukum hanyalah satu bagian dari Perang yang lebih besar: perang untuk memenangkan hati dan pikiran publik, sebagaimana disebut Liputan6.com (21/04/2025)
Pada akhirnya, nasib Ridwan Kamil tidak hanya akan ditentukan oleh putusan majelis hakim. Ia juga akan ditentukan oleh seberapa kuat ia mampu bertahan dari gelombang opini publik yang terus berdatangan ujian nyata atas ganasnya cancel culture di Indonesia.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI