Kafe kecil itu masih sama. Kursi kayu yang berderit saat diduduki, aroma kopi yang menenangkan, dan jendela kaca yang menghadap ke jalan raya yang kini basah oleh hujan.
Di meja sudut dekat rak buku tua, duduk dua orang yang pernah sangat saling mengenal---tapi kini hanya duduk berhadapan, tanpa suara.
Rena mengaduk cappuccino-nya perlahan, padahal busa di atasnya sudah lama tenggelam. Sementara Dafa menatap gelas kosongnya, seolah ada kata-kata yang mengendap di dasar cangkir.
Mereka sudah duduk di situ selama lima belas menit. Lima belas menit yang terasa seperti selamanya. Tak ada kata. Tak ada tanya. Hanya napas yang saling bersilangan.
Dulu, diam mereka adalah kenyamanan. Saat kehabisan cerita, mereka tertawa bersama. Ketika lelah setelah seharian bekerja, mereka hanya saling menatap dan tahu, "Aku ada di sini."
Tapi malam ini, diam itu berubah menjadi jarak. Dingin. Sunyi.
"Rena," Dafa akhirnya membuka suara, lirih, seolah takut suaranya memecahkan sesuatu yang rapuh.
Rena mengangkat wajahnya. Matanya yang dulu selalu berbinar setiap kali melihat Dafa, kini redup seperti senja yang kehabisan cahaya.
"Apa kabar?"
Pertanyaan yang paling klise, paling menyakitkan.