Pagi itu, kota belum sepenuhnya bangun. Matahari baru saja naik malu-malu dari balik bukit, dan suara burung masih terdengar samar di sela-sela kesunyian. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Nara duduk sendirian. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah mulai dingin, sementara matanya terus menatap layar ponsel yang tak kunjung menyala. Hanya satu nama yang ia tunggu: Elan. Temannya sejak SMA, sahabatnya selama kuliah, orang yang selalu ada di saat semua orang pergi. Tapi juga orang yang tidak pernah tahu bahwa setiap kali Nara tersenyum padanya, ia sedang menyembunyikan rindu yang tidak bisa diberi nama.
Mereka sudah saling kenal lebih dari sepuluh tahun. Elan adalah lelaki sederhana yang selalu tahu caranya membuat Nara tertawa, bahkan di hari-hari paling suramnya. Ia tidak pernah romantis, tidak pernah memberi bunga, tidak pernah memanggil Nara dengan sebutan sayang atau cinta. Tapi ia selalu ada---dan kadang, kehadiran yang konsisten lebih menusuk dari sekadar pengakuan cinta.
Dulu, Nara mengira ini hanya rasa nyaman biasa. Ia berpikir semua orang pasti punya teman dekat yang serasa rumah. Tapi semakin hari, ia sadar: perasaan itu tumbuh perlahan, diam-diam, mengakar di hati seperti tanaman liar yang tidak pernah diminta tapi sulit dicabut. Ia cemburu setiap kali Elan bercerita tentang perempuan lain. Ia marah ketika Elan lupa ulang tahunnya. Ia menangis diam-diam saat Elan menghilang seminggu penuh karena patah hati. Tapi ia tidak pernah berani berkata jujur. Karena ia tahu, begitu ia mengucapkan kata "aku suka kamu", segalanya bisa hancur. Dan Nara tidak siap kehilangan Elan---bahkan jika itu artinya harus menyimpan rindu sendirian.
Hari itu, Elan akhirnya datang, lima belas menit terlambat seperti biasa. Ia duduk di hadapan Nara, meletakkan tasnya, dan tersenyum. "Maaf, macet banget tadi. Nunggu lama ya?" Nara hanya mengangguk, pura-pura tenang. Mereka mengobrol seperti biasa, membahas pekerjaan, cuaca, film yang baru dirilis, dan hal-hal remeh yang hanya bisa dipahami oleh dua orang yang sudah terlalu lama saling mengenal.
Namun di tengah tawa itu, Elan tiba-tiba berkata, "Nar, kamu pernah enggak... suka sama teman sendiri?"
Pertanyaan itu jatuh seperti batu ke dalam kolam yang tenang. Hening. Nara menelan ludah, menatap mata Elan, mencoba membaca apakah pertanyaan itu serius atau hanya candaan semata.
"Aku pernah," jawab Nara pelan, jujur tapi hati-hati. "Tapi aku enggak pernah berani bilang. Karena takut kehilangan."
Elan menatap Nara lama, lalu tersenyum kecil. "Aku juga pernah. Dan masih."
Hati Nara berdetak begitu kencang hingga ia takut Elan bisa mendengarnya. "Masih?" bisiknya, nyaris tak terdengar.
"Iya," jawab Elan. "Aku rindu kamu tiap hari, Nar. Padahal kita sering ketemu. Tapi aku tetap rindu. Karena kamu bukan sekadar teman. Kamu... rumah."