Mohon tunggu...
Ajie Muhammad
Ajie Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Waktu itu Kronologi

26 Juli 2016   22:31 Diperbarui: 26 Juli 2016   22:42 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Selesai sudah hari yang melelahkan. Pagi tuntaslah semua pekerjaan. Habislah semua beban. Beban yang memang harus diselesaikan. Kalau tidak pasti akan kebingungan. Pasti akan jadi beban pikiran. Membuat hati gundah tak karuan. Membuat nafas jadi ngos-ngosan. Makanya, harus cepat-cepat dituntaskan. Biyar tidak gelabakan.

Kembali terlintas dalam angan. Dan lagi muncul dalam pikiran. Terbayang dalam ingatan. Berkhayal dalam kenyataan. Ku bertanya bagaimana keadaan. Bagaimana sekarang bertahan. Dan apakah mungkin sekarang sudah baikan. Sudah kuatkah menantang kerasnya kehidupan. Memagari diri dari racun yang berdatangan. Menepis bayangan kegelisahan. Mengusir momok menakutkan yang menghantui kesehatan.

Ibunda tersayang. Ya, bliaulah yang terus muncul bak seribu bayang. Semakin mengusik pikiran yang sudah tak  lagi tenang. Bak berteriak dalam angan yang sudah melayang-layang. Angan yang telah bimbang. Akal sehat yang tak disadari telah hilang. Teringat kemarin ketika permataku tersayang kehilangan rasa senang. Melihat Ibunda terlentang di atas ranjang. Menatap mata Ibunda yang terlukis bersemangat juang. Berjuang membesarkan dan mendidiknya agar kelak menjadi orang.

Ingin kudatang waktu itu. Membawa beberapa hidangan pengobat pilu. Sedikit santapan mengejuk kalbu. Sebatin niat yang mungkin ditunggu. Sesirat kasih yang mungkin dirindu. Namun, mengapa, aku pun tak tahu. Sebuah dering memanggil diriku. Bunyi itu memaksaku. Menahanku dalam gegasku. Aku pun menatap layar itu. Aku berusaha memahami akan itu. Namun entah mengapa bergejolak dalam kalbu. Muncul seribu rasa ragu. Timbul peperangan hebat dalam hatiku. Tak tahan, aku pun bergegas pergi berlalu. Agar yakin ku tahu, bukan ragu yang ku mau.

Sampaiku di depan istana sang permata. Permata yang selalu menghadirkan cinta. Dan aku terus berdoa semoga tidak ada apa-apa. Semoga semua baik-baik saja. Namun gejolak masih saja terasa. Pasukan serdadu masih saja menggempur dalam dada. Seperti mereka tak punya sifat binasa. Ku hanya menyebut Nama Yang Maha Kuasa. Semoga diberi ketenangan dalam jiwa. Mudah-mudahan aku tetap menguasainya. aku tetap mengendalikan raga.

Berjam-jam aku menanti. Ketok pintu sudah ku lakukan berulang kali. Salampun sudah aku haturkan tiada henti. Seakan-akan istana itu mengusirku untuk pergi. Tiada orang yang akan datang menghampiri. Namun terkejut aku. Terdengar suara yang lemah layu. Bunyi yang lirih sendu. Seakan hilang gejolak dalam kalbu. Ku lihat dengan tatapan haru. Namun, terkejut aku, ternyata Ibunda yang menyambutku. Menghampiri dengan tertatih lesu. Ku bantu Ibunda duduk kembali. Kulihat tampak tersirat senyum penuh arti. Ibunda telah sehat kembali. Panjatku, hanya kepada Tuhan kami memuji.

Bliau mempersilahkanku. Senang rasanya bisa bersahutan mulut mengutaran isi kalbu. Menanyakan kekhawatiran dalam hatiku. Yang telah terpendam sejak hari yang lalu. Ibundaku membawa kesejukan dalam dadaku. Dada yang sebelumnya diserbu serdadu. Namun, di manakah dia yang ku nanti? Pertanyaan yang terus bergejolak dalam hati. Permata yang selalu bersinar berseri-seri. Terpancar indah disetiap hari. Namun, kekesalan dalam hatiku tak bisa ku pungkiri. Begitu tega dia meninggalkan Ibunda sendiri.  Ibunda yang sedang lemah tak mampu berdikari.

Aku tak mengerti mengapa waktu itu begitu penuh misteri. Membuatku bingung tak tahu apa yang terjadi. Tak seperti biasanya seperti ini. Tiba-tiba tak ku sadari. Datang seorang lelaki. Lelaki yang mungkin pernah aku temui, mungkin pernah aku kenali, mungkin pernah aku ketahui. Tak lama lelaki itu di sini, sang permata muncul dari tirai bak seorang peri. Gembira rasanya hati ini. Namun, apa yang terjadi. Permataku mendekati sang lelaki. Dan aku tak mengerti. Teringat ku dalam hati, seperti ada kaitan dengan pesan yang kubaca tadi pagi.

Permataku tak mendekat kepadaku. Permataku kenapa berbeda dari pada hari-hari yang lalu. Kilau yang biasa menyejukkanku seakan perpaling dariku. Pergi dariku, tak mau menerangiku. Tak seperti biasa bertemu. Seperti bulan kecil diriku, ketika gerhana menghampiri. Diabaikan dan ditinggal pergi, tak mau sang surya menyinari.

Gejolak hati tak bisa kulawan. Mulai terpampang bukti kecurigaan. Kubuka sebuah sidang untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang menguak tabir kebenaran. Firasat menunjukkan ada sebuah pengkhianatan. Begitu kejamnya, permataku. Permataku yang dulu menyayangiku. Permataku yang dulu selalu tersenyum padaku. Permataku yang segala nama indah aku gelarkan untuknya. Kini seakan hilang sanubarinya. Hilang hati nuraninya.

Ingkar dia dengan janjinya. Tak ku sangka dia berkata bahwa lelaki itu sudah memilikinya. Dan kini ku bukan siapa-siapa. Aku bukan apa-apa. Janji yang dulu akan selalu menunggu, tak lebih dari sekedar rayu. Permataku hilang dari genggamanku. Pergi dariku, mengusirku, dan memintaku melupakan apa yang telah lalu. Kejam…!!! permata yang dulu putih bersih bersinar terang, berubah menjadi memerah dan menakutkan. Hatinya dikuasai kegelapan. Dia telah ingkar dengan perjanjian. Cinta dan kasih sayang yang dijanjikan, dianggapnya hanyalah sebuah khayalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun