Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi di Tengah Kendala Berbagai Kebijakannya

27 Maret 2020   14:08 Diperbarui: 27 Maret 2020   14:37 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah kebijakan tentunya tidak bisa secara instan diterapkan, hari ini diucapkan, besok sudah harus terealisasikan. Proses distribusi sebuah kebijakan membutuhkan waktu, dan kecepatan merespon instansi terkait dalam merealisasikan kebijakan pun terkendala berbagai birokrasi.

Proses ini memberikan peluang, untuk dipolitisasi oleh pihak-pihak yang ingin mendelegitimasi pemerintahan Jokowi. Maka muncullah pernyataan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak digubris oleh instansi terkait.

Seakan-akan pemerintah tidak memiliki wibawa dan ketegasan, dalam menerapkan kebijakan tersebut. Ini juga terjadi pada imbauan Jokowi, terkait kebijakan karantina wilayah atau Lockdown. 

Secara tegas Jokowi mengatakan Pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan Lockdown, pada kenyataannya imbauan tersebut nyaris tak didengar.

Contoh lainnya, dilansir CNBC Indonesia.com, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan berbagai kemudahan kepada sejumlah sektor usaha dan masyarakat yang terkena dampak dari wabah virus corona (Covid-19).

Untuk kemudahan ini diberikan Kepala Negara setelah mendengar berbagai keluhan dari kalangan pelaku usaha, mulai dari pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga tukang ojek dan supir taksi. Sebelumnya, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah memberikan kelonggaran kepada debitur perbankan.

"Keluhan yang saya dengar dari tukang ojek, supir taksi, yang sedang memiliki kredit motor atau mobil atau nelayan yang sedang memiliki kredit," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (24/3/2020).

Selang satu hari kebijakan ini dikeluarkan pemerintah, keesokan harinya lembaga-lembaga kreditur mengeluarkan pernyataan di media, bahwa mereka belum ada koordinasi dengan pemerintah terkait kebijakan tersebut, sehingga para debitur harus tetap melakukan kewajibannya seperti biasa.

Ya jelas saja lembaga kreditur tersebut belum tahu adanya kebijakan itu, karena baru dibicarakan, dan perlu proses untuk merealisasikannya. Sementara, kelompok yang sentimen pada pemerintah, menganggap hal ini sebagai amunisi untuk mendiskreditkan pemerintah.

Pemerintah dan instansi pendukung perlu menyiapkan aturannya terlebih dahulu, tidak bisa hari ini diucapkan, besok sudah bisa direalisasikan. Mengurus organisasi setingkat RT aja ada mekanisme yang harus dilalui, apa lagi ini menyangkut kepentingan negara dan masyarakat.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan pemberian stimulus ini tertuang dalam Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease.

"Dengan terbitnya POJK ini maka pemberian stimulus untuk industri perbankan sudah berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021. Perbankan diharapkan dapat proaktif dalam mengidentifikasi debitur-debiturnya yang terkena dampak penyebaran Covid-19 dan segera menerapkan POJK stimulus dimaksud," kata Heru dalam siaran persnya. (Sumber)

Kalau melihat penjelasan OJK, seharusnya lembaga kreditur sudah tahu soal terbitnya POJK, karena sudah diberlakukan sejak 13 Maret lalu. Adanya miskordinasi antara OJK dengan lembaga kreditur, atau juga kebijakan ini tidak disosialisasikan terlebih dahulu.

Begitu juga soal adanya kepala daerah yang mengambil inisiatif sendiri, untuk melakukan karantina wilayah terhadap daerah yang dipimpinnya. Artinya, apa yang disampaikan Presiden terhadap kebijakan tersebut, tidak terlalu dihiraukan oleh kepala daerah, mereka lebih melihat urgensinya, bukan cuma ketaatan pada pemerintah pusat.

Dua hal di atas tersebut terkesan sangat sepele, tapi memiliki dampak politik yang besar, dan bisa mendelegitimasi kekuasaan pemerintah pusat. Pemerintah pusat bisa dianggap remeh kebijakannya, karena tidak adanya ketegasan dalam penerapannya.

Persoalan seperti ini masak sih harus ditangani Presiden dalam penerapannya, padahal Presiden sendiri mempunyai banyak pembantunya, yang sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawab masing-masing.

Lemahnya persoalan kordinasi di lingkaran kabinet, membuat berbagai kebijakan terkendala dalam penerapannya. Di sinilah akhirnya memberikan kesan, Presiden Jokowi hanya bekerja sendiri.

Kelemahan inilah yang dimanfaatkan pihak-pihak yang sentimen terhadap pemerintah, melakukan serangan bertubi-tubi terhadap Jokowi. Negara ini dianggap seperti tidak ada pemimpinnya, tidak tanggap terhadap apa yang dibutuhkan masyarakat.

Kalau saja semua pembantu Jokowi, disaat-saat genting seperti sekarang ini, mau bekerja secara maksimal, tentunya semua persolan yang sedang dihadapi pemerintah bisa diselesaikan secara maksimal.

Kondisi negara dan bangsa ini sedang tidak normal, tidak sedang biasa-biasa saja. Seharusnya para menteri pun memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara ini, jangan seperti orang yang kebingungan dalam merespon berbagai kebijakan yang dikeluarkan Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun