Antara Omon-omon IMF dan Optimisme 8 Persen
Proyeksi Global vs Mimpi Nasional: Siapa yang Akan Menang?
Ketika IMF merilis proyeksi bahwa ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,7 persen pada 2025 dan 2026, banyak yang terperangah. Angka itu tampak seperti "tamparan data" bagi pemerintah yang selama ini optimis dengan visi pertumbuhan 8 persen. Dalam World Economic Outlook April 2025, IMF menilai perlambatan global, risiko geopolitik, dan tekanan fiskal sebagai hambatan nyata. Namun, angka tersebut memicu perdebatan besar, apakah Indonesia memang layak diremehkan seperti itu? Ataukah ini hanya refleksi dari model prediktif IMF yang terlalu konservatif dan tak cukup memahami kekuatan domestik yang tengah bangkit?
Kita tahu, Indonesia bukan sekadar pasar berkembang biasa. Ia adalah negara dengan populasi keempat terbesar di dunia, bonus demografi aktif hingga 2045, dan transformasi digital yang sedang berjalan cepat. Jika mesin-mesin pertumbuhan seperti konsumsi domestik, industrialisasi hilirisasi, dan ekspansi UMKM dikalibrasi dengan tepat, maka angka 4,7% akan jadi sejarah, dan bukan nasib. Visi 8% bukan sekadar mimpi kosong, melainkan bentuk kepercayaan bahwa Indonesia bisa mengatur jalannya sendiri, tanpa harus terus menari mengikuti irama dari luar. Ini bukan soal optimisme buta, melainkan kesadaran bahwa ekonomi bukan hanya soal data, tetapi juga tentang strategi, semangat, dan konsistensi arah.
Efisiensi Fiskal dan Tantangan Menjaga Akselerasi
Pemerintah Indonesia, dalam menghadapi tantangan global dan kebutuhan jangka panjang pembangunan, memilih pendekatan yang unik: radikal efisiensi fiskal. Narasi "merampingkan belanja" jadi mantra utama dalam dokumen perencanaan pembangunan 2025--2026. Tapi di sisi lain, ini memunculkan paradoks. Sebab dalam teori Keynesian maupun praktik kontemporer, belanja pemerintah adalah salah satu motor utama pertumbuhan, apalagi saat konsumsi masyarakat melemah dan investasi swasta menunggu kepastian. Lalu, bagaimana efisiensi fiskal bisa kompatibel dengan ambisi pertumbuhan 8%?
Kuncinya terletak pada arah dan kualitas belanja. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap rupiah dikeluarkan untuk hal-hal yang punya daya ungkit tinggi: pendidikan, riset, infrastruktur konektivitas, hilirisasi industri, hingga transformasi digital. Bukan sekadar memangkas, tapi menyusun ulang belanja untuk jadi mesin produktif. Sektor seperti pertanian cerdas, energi hijau, dan industri 4.0 butuh investasi awal yang bisa membuka peluang lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah, dan menarik investasi global. Maka, strategi fiskal Indonesia harus berubah dari sekadar pengeluaran ke instrumen pengungkit, dari konsumsi ke investasi sosial, dari seremonial ke substansi. Tanpa ini, efisiensi akan menjadi rem, bukan gas.
Dunia Sedang Tak Stabil, Tapi Tak Semua Memilih Menunggu
Di tengah ekonomi global yang bergolak akibat perang tarif, perlambatan Tiongkok, dan pengetatan moneter negara maju, sebagian besar negara justru meningkatkan belanja pemerintah secara masif. Amerika Serikat merespons dengan Inflation Reduction Act senilai USD 739 miliar, India meningkatkan belanja infrastrukturnya lebih dari 30 persen dalam anggaran 2025. Negara-negara ini tahu betul: dalam situasi ketidakpastian global, negara harus hadir sebagai lokomotif ekonomi. Sementara itu, Indonesia masih bersikap hati-hati, seolah menyetir di jalan berlubang dengan lampu redup.
Namun, hati-hati berlebihan bisa melahirkan stagnasi. Kita tak bisa menunggu keyakinan datang dari luar; kita harus menciptakan keyakinan itu dari dalam. Investasi publik di bidang transformasi energi, ketahanan pangan, logistik, dan digitalisasi bukan hanya tentang proyek jangka pendek, tapi investasi masa depan. Indonesia harus belajar dari strategi geopolitik ekonomi negara lain: diversifikasi mitra dagang, industrialisasi berbasis keunggulan komparatif, dan integrasi regional. Di sinilah kekuatan Indonesia, dengan pasar domestik yang besar dan sumber daya alam yang berlimpah, bisa ditransformasikan menjadi nilai strategis. Tapi itu hanya bisa terjadi jika pemerintah percaya diri bertindak sebagai katalis, bukan hanya pengatur lalu lintas.
Bukan Angka yang Membuat Hebat, Tapi Strategi di Baliknya
Tumbuh 8% bukan soal membanggakan angka, melainkan membuktikan strategi. Indonesia harus menempatkan visi ini dalam kerangka kerja yang konsisten, terukur, dan kolaboratif. Tak cukup hanya dengan pidato atau regulasi; dibutuhkan keselarasan antar-kementerian, sinergi pusat-daerah, hingga aliansi strategis dengan sektor swasta dan masyarakat sipil. Pemerintah harus menjadi orkestra utama yang menyatukan harmoni pembangunan dari berbagai arah.
Langkah besar harus diiringi fondasi kuat: reformasi birokrasi digital, sistem insentif berbasis output, dan instrumen pembiayaan yang tidak mengandalkan utang semata. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mempercepat transformasi ekonomi menuju manufaktur berbasis teknologi tinggi, ekonomi hijau, dan digitalisasi UMKM. Indonesia juga perlu menyusun ulang economic storytelling, bukan hanya menargetkan angka pertumbuhan, tapi merancang cerita yang membangkitkan kepercayaan publik dan investor bahwa negara ini tahu ke mana ia akan melangkah, dan bagaimana cara mencapainya.
Ketika IMF berbicara angka, Indonesia harus bicara strategi. Ketika lembaga asing memberi peringatan, Indonesia justru harus menjawab dengan pembuktian. Karena pada akhirnya, yang akan mencatat sejarah bukanlah proyeksi, tetapi realisasi. Indonesia bisa lebih besar dari ramalan siapa pun, selama ia berani melampaui keraguan dan mengawal langkahnya dengan kebijakan yang terstruktur, progresif, dan berpihak pada masa depan.
Dari Ramalan Menuju Pembuktian
Dalam sejarah pembangunan bangsa, ramalan hanyalah satu bab kecil, dan seringkali bab itu tidak ditulis oleh kita sendiri. Proyeksi IMF yang menyebut pertumbuhan Indonesia hanya 4,7 persen bukanlah vonis mati atas potensi kita. Ia hanyalah titik awal untuk menguji apakah Indonesia hanya ingin jadi penonton dalam arena global, atau justru tampil sebagai pemain utama yang mengatur permainannya sendiri. Karena pertumbuhan ekonomi sejati tidak hanya berasal dari neraca makro, tapi dari keberanian membuat keputusan yang berani, taktis, dan berpihak pada masa depan.
Visi 8 persen bukan sekadar simbol angka, tapi kompas arah pembangunan nasional. Ia mencerminkan ambisi untuk melampaui jebakan kelas menengah, memperluas basis industri, memperkuat sektor produktif, serta menciptakan ekonomi yang tahan banting sekaligus inklusif. Tantangan besar bukan alasan untuk menyerah, melainkan alasan untuk menyusun ulang strategi secara kolektif dan disiplin. Di sinilah pentingnya membangun kepercayaan publik, memperkuat tata kelola, dan memastikan bahwa semua instrumen pembangunan, fiskal, moneter, kebijakan industri, serta transformasi digital, berjalan dalam orkestrasi yang terintegrasi.
Indonesia tidak butuh pembuktian pada IMF atau lembaga asing mana pun. Yang dibutuhkan adalah pembuktian kepada diri sendiri: bahwa dengan strategi yang benar, konsistensi dalam eksekusi, serta keberanian untuk mengambil jalan tak lazim, maka sejarah bisa dibelokkan. IMF boleh saja bicara tren global, tapi Indonesia bisa menciptakan lintasannya sendiri. Sebab dalam dunia ekonomi modern, bukan prediksi yang menggerakkan dunia, melainkan keyakinan yang diterjemahkan jadi kebijakan, kerja nyata, dan hasil konkret.
Kita pernah membuktikan di masa lalu, ketika krisis datang, kita bangkit. Ketika pandemi melanda, kita bertahan dan pulih lebih cepat. Kini, saat dunia menaruh angka 4,7 persen di pundak kita, Indonesia punya peluang untuk membuktikan bahwa ramalan bisa dikalahkan, dan masa depan adalah milik mereka yang tak hanya percaya, tapi juga bertindak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI