Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Garuda Indonesia di Persimpangan Awan

28 Maret 2025   06:30 Diperbarui: 28 Maret 2025   06:30 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bisnis.espos.id/garuda-indonesia-masih-rugi-rp115-triliun-meski-pendapatan-melonjak-4832-1783832

Garuda Indonesia di Persimpangan Awan


Pendapatan Tinggi, Tapi Kenapa Masih Rugi

Tahun 2024 seharusnya menjadi titik balik bagi Garuda Indonesia. Dengan pendapatan yang berhasil menembus Rp56,5 triliun, banyak yang berharap maskapai pelat merah ini kembali mencetak laba. Namun, kenyataannya justru sebaliknya: Garuda tetap membukukan kerugian sebesar Rp1,1 triliun. Ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin perusahaan dengan pendapatan sebesar itu masih kesulitan menutup biaya operasional?

Salah satu jawabannya terletak pada struktur biaya yang masih terlalu berat. Garuda belum sepenuhnya keluar dari warisan masa lalu: biaya sewa pesawat yang tinggi, manajemen armada yang tidak optimal, serta beban operasional non-esensial seperti keberadaan kantor layanan fisik di banyak kota besar. Di era digital, kantor-kantor ini bukan hanya kurang relevan, tapi juga menyerap biaya tetap yang besar.

Restrukturisasi memang pernah dilakukan, tetapi lebih banyak menyentuh aspek utang dan kewajiban jangka pendek. Yang belum disentuh secara mendalam adalah transformasi model bisnis yang adaptif terhadap perubahan pasar. Maskapai global telah lama bergerak ke arah digitalisasi layanan, optimalisasi armada, dan ekspansi pasar internasional. Sementara Garuda, meskipun punya potensi besar di pasar domestik dan ibadah, masih terjebak pada pendekatan lama yang tidak agile dan minim inovasi pendapatan di luar penjualan tiket.

Di Mana Posisi Garuda Dibanding Maskapai Dunia

Jika ingin memahami kondisi Garuda secara objektif, perbandingan dengan maskapai nasional lain di kawasan dan dunia menjadi penting. Pada tahun 2024, Garuda Indonesia mencatatkan pendapatan sebesar Rp56,5 triliun atau sekitar US$3,6 miliar, namun tetap mencatatkan kerugian Rp1,1 triliun. Bandingkan dengan Singapore Airlines yang mencetak pendapatan lebih dari US$12 miliar dengan laba bersih mencapai US$1,7 miliar. Turkish Airlines bahkan lebih impresif, dengan pendapatan di atas US$20 miliar dan laba bersih sekitar US$1,6 miliar. Saudia sebagai sesama pemain di sektor penerbangan ibadah juga berhasil membukukan laba, meski dengan pendapatan "hanya" US$6,8 miliar.

Dari sisi jumlah armada, Garuda tidak jauh tertinggal. Namun masalahnya terletak pada efisiensi dan diversifikasi pendapatan. Maskapai seperti Singapore Airlines dan Qatar Airways telah mengembangkan berbagai sumber pendapatan non-tiket seperti layanan kargo, penjualan paket wisata, dan kemitraan loyalitas global. Turkish Airlines secara strategis menjadikan Istanbul sebagai hub penghubung Asia--Eropa--Afrika, menjadikan rute-rutenya panjang dan bernilai tinggi. Sementara Garuda masih sangat bergantung pada pasar domestik dan belum maksimal memanfaatkan rute internasional yang berpotensi mendatangkan pendapatan lebih tinggi.

Garuda juga kalah cepat dalam mengadopsi digitalisasi operasional dan layanan pelanggan. Ketika maskapai dunia mengurangi beban dengan digital check-in, pengelolaan data pelanggan berbasis AI, dan integrasi layanan melalui satu platform, Garuda masih terbebani oleh sistem yang tersebar, terfragmentasi, dan belum efisien. Maka, bukan hanya soal seberapa besar pendapatan, tapi seberapa efisien dan cerdas pendapatan itu dikelola. Di sinilah Garuda tertinggal dalam persaingan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun