Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ayah Rumah Tangga Bukan Aib, Hentikan Generasi Fatherless

10 Oktober 2025   17:00 Diperbarui: 10 Oktober 2025   13:54 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setiap pagi Nursaka (8), dibantu ayahnya menyiapkan diri pergi ke sekolah di Entikong, Indonesia.(KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan)

Pernah lihat ayah pulang larut, lampu kamar anak sudah padam? Atau dengar cerita ayah yang kerja tanpa henti. 

Sampai jarang sempat ngobrol dengan keluarga? Banyak yang mengalaminya di Indonesia.

Di banyak rumah, ayah ditempatkan sebagai kepala keluarga. Yang tugas utamanya mencari nafkah.

Sejak kecil anak laki-laki sering dibentuk. Untuk mengejar sukses yang ukurannya pendapatan.

Lalu muncul keyakinan sederhana. Kalau dompet keluarga aman, tugas ayah beres. Padahal keluarga tidak cuma soal uang, kan?

Yang jarang dibicarakan bahwa banyak anak tumbuh tanpa kehadiran ayah. Bukan karena ayahnya benar-benar tidak ada. 

Melainkan karena tenggelam dalam pekerjaan atau merasa urusan anak bukan prioritasnya.

Fenomena ini sering disebut fatherless. Situasi dimana sosok ayah tidak hadir. Secara fisik atau emosional di rumah.

Menurut UNICEF, sekitar 1 dari 5 anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah. Angka setinggi itu patut bikin kita mikir.

Kenapa bisa begini? Salah satu akar persoalannya adalah budaya patriarki. Yang mengurung laki-laki dalam peran sempit.

Di Indonesia, banyak ayah akhirnya terjebak hanya sebagai pencari nafkah. 

Padahal anak juga butuh pelukan. Obrolan ringan, dan waktu main bareng.

Kenapa peran ayah sering dipersempit? Apa dampaknya buat anak dan keluarga? Apa langkah realistis supaya ayah lebih hadir?

-

Banyak orang percaya tugas paling utama ayah adalah membawa pulang uang.

Dari kecil, telinga kita sudah akrab dengan nasihat seperti, “Kalau sudah besar, jadi kepala keluarga yang bisa menafkahi.”

Pelan-pelan, nilai diri ayah seolah hanya diukur dari gaji.

Padahal jadi ayah jauh lebih luas daripada urusan dompet. Anak butuh kedekatan, perhatian. Juga rutinitas sederhana yang dilakukan bareng.

Karena jam kerja yang panjang. Atau keyakinan bahwa memberi uang sudah cukup. Maka hubungan ayah dengan anak dan pasangan sering jadi renggang.

Pikiran yang muncul: “Yang penting aku sudah kerja keras. Mereka pasti bahagia.”

Tapi benarkah begitu?

Tekanan lingkungan ikut memperparah. Saat ada ayah yang ingin lebih banyak di rumah, misalnya nemenin belajar, masak, atau ngurus cucian.

Biasanya komentar sinis sering datang duluan. “Laki-laki kok di rumah terus, malu dong.”

Demi menghindari cap lemah atau malas, banyak ayah memilih tetap sibuk di luar.

Kebijakan tempat kerja juga belum sepenuhnya ramah keluarga. Contohnya, cuti ayah saat anak baru lahir di Indonesia rata-rata hanya dua hari.

Di negara lain, durasinya bisa seminggu atau lebih. Ketika ayah perlu pulang cepat untuk menemani anak sakit. Tidak jarang dianggap kurang profesional.

Akibatnya, waktu untuk hadir di rumah makin tergerus.

Dampaknya terasa di anak. Bukan cuma soal kehadiran fisik. Tapi juga rasa dekat dan dukungan emosional.

Anak yang kurang mendapatkan keterlibatan ayah berisiko kehilangan figur rujukan sehari-hari.

Padahal riset menunjukkan kedekatan dengan ayah berkaitan dengan kepercayaan diri yang lebih baik. Kemampuan mengelola emosi. Serta relasi sosial yang lebih hangat.

Selama peran ayah dikunci pada urusan uang, keluarga akan terus kehilangan sesuatu yang berarti. Yakni kehadiran yang nyata dari sosok ayah.

-

Sekarang gambarnya mungkin lebih jelas. Banyak ayah terlihat menghilang bukan karena tidak sayang. Melainkan karena budaya dan aturan kerja yang mendorong mereka fokus pada nafkah saja.

Kabar baiknya, perubahan bisa dimulai dari rumah. Bagi peran lebih adil antara ayah dan ibu.

Sisihkan waktu khusus bersama anak setiap hari meski singkat. Dukung teman atau saudara laki-laki, agar tidak malu terlibat dalam urusan rumah dan pengasuhan.

Di level yang lebih luas, dorong kantor dan komunitas untuk lebih ramah keluarga. Misalnya lewat cuti ayah yang lebih panjang atau jam kerja yang fleksibel.

Semua orang butuh ayah yang hadir. Bukan sekadar pemberi nafkah. Jangan sampai momen penting terlewat hanya karena kita terjebak pola pikir lama.

Selama ayah dipaksa hanya menjadi mesin pencari uang, keluarga akan kehilangan sesuatu yang paling mahal. Yaitu kehadiran dan kehangatan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun