Tekanan publik yang besar memaksa respons cepat. Kurang dari 24 jam, keputusan itu dibatalkan secara resmi melalui Keputusan KPU Nomor 805 Tahun 2025 yang tercatat di JDIH KPU.
Ketua KPU, M. Afifuddin, menyatakan mereka mempertimbangkan masukan banyak pihak. Baik begitu, kejadian ini tetap layak jadi bahan refleksi.
Para ahli hukum dan pegiat pemilu seirama suaranya. Dokumen para calon pejabat publik bukanlah data warga biasa.
Titi Anggraini, dosen FH UI, menilai keputusan KPU keliru dan bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Publik berhak mengakses dokumen pencalonan sebagai mekanisme kontrol. Soal perlindungan data pribadi, Titi menawarkan jalan tengah: selective disclosure.
Data yang sensitif bisa dikaburkan, bukan ditutup total.
Kritik serupa datang dari Muhammad Saleh dari Celios. Menurutnya, prinsip dasarnya harus terbuka.
Semua dokumen calon pejabat publik pada dasarnya dapat diakses, sementara pengaturannya ada pada prosedur dan tahapan. Ia melihat KPU membalik logika keterbukaan.
Kalau tak siap transparan, jangan maju ke jabatan publik. Jangan ikut kontestasi.
Di sisi lain, kecepatan KPU meralat keputusan patut diapresiasi sebagai tanda responsivitas dan akuntabilitas.
Namun fakta bahwa kebijakan anti transparansi sempat terbit tidak bisa diabaikan. Ke depan perlu ada audit transparansi.