Lembaga yang seharusnya memastikan identitas warga tidak bekerja sebagaimana mestinya. Akibatnya, akses Zaldin ke pendidikan tertutup rapat.
Dan itu berlangsung bertahun-tahun. Sulit untuk menyebutnya selain sebagai kegagalan total layanan administrasi sipil.
Untungnya, ada pihak yang datang membantu. WVI turun tangan lewat program sekolah keluarga dan upaya pemulihan di Palu (PaluKota.go.id, 2025).
Mereka membantu mengurus dokumen Zaldin. Mereka juga menyediakan seragam dan alat tulis (Tirto.id).
Hasilnya, Zaldin akhirnya bisa bersekolah. Ia mulai belajar di usia 10 tahun. Kabar baik, tentu saja. Juga bukti bahwa intervensi pihak luar bisa efektif.
Tapi justru di sini muncul pertanyaan besar. Mengapa urusan mendasar seperti akta dan kartu keluarga diselesaikan oleh NGO? Mengurus itu tugas pemerintah. Negara berkewajiban membiayai dan menyelenggarakan pendidikan (UUD 1945).
Jika administrasi dibereskan oleh NGO, di mana fungsi pengawasan? Kasus Zaldin perlu kita lihat ulang. Ia bukan sekadar "melawan nasib". Ia berhadapan dengan ketidakhadiran negara.
Dan ini tidak terjadi pada Zaldin saja. Angka putus sekolah di Palu tergolong tinggi. WVI mencatat 117 kasus putus sekolah per pertengahan 2025 (Tirto.id).
Catatan ini berasal dari wilayah dampingan mereka, jadi kemungkinan angka sebenarnya lebih besar. Fenomenanya mirip gunung es. Permukaan terlihat kecil, sisanya menumpuk di bawah.
Masalah lain, data pemerintah setempat tidak sejalan. Lurah Kelurahan Baru mengklaim kasus putus sekolah tinggal "1-2 orang saja" (Tirto.id).
Klaim ini perlu diuji keras. Jarak antara angka WVI dan pernyataan Lurah terlalu lebar.