Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Hanya Kemiskinan, Anak Putus Sekolah Akibat Gagalnya Administrasi

9 Oktober 2025   05:00 Diperbarui: 30 September 2025   22:11 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zaldin, siswa kelas 1 SD, sedang belajar di sebuah kelas, di Palu, Sulawesi Tengah. (ANTARA/HO-WVI)

Fenomena anak bekerja di usia dini itu benar-benar memprihatinkan. Bukan cuma cerita sedih yang lewat. Ini sinyal keras kalau fondasi sistem kita bermasalah.

Kisah Zaldin di Palu hanya satu contoh. Di luar sana, banyak anak mengalami hal serupa. Mereka kehilangan waktu yang mestinya dipakai untuk belajar, bermain, tumbuh dengan tenang (Tirto.id).

Masalah ini sering dipersempit jadi urusan rumah tangga. Uang memang jadi alasan utama, keluarga miskin mengajak anak mencari nafkah.

Tapi berhenti di "karena miskin" itu terlalu dangkal. Ada persoalan yang lebih besar: negara belum hadir menanggung hak-hak dasar.

Ambil kasus Zaldin. Usia 10 tahun seharusnya duduk di bangku sekolah. Ia justru membantu kakeknya melaut, lalu berkeliling menjual makanan.

Hidupnya keras, serba sulit. Uang jajan ia cari sendiri. Beban itu menempel di pundak kecilnya (Tirto.id).

Dari sini tampak dua jenis kelalaian. Pertama, kelalaian di lingkar terdekat. Data WVI menunjukkan masalahnya berlapis.

Orang tua kurang paham soal pengasuhan dan pendidikan. Ada laporan orang tua "tidak memperhatikan anaknya" (Tirto.id). Artinya, faktor sosial ikut bermain. Anak-anak jadi korban dari sikap abai ini.

Kelalaian kedua lebih fatal. Datang dari pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab: pemerintah daerah. Zaldin tinggal di wilayah perkotaan, mestinya mudah dijangkau dinas pendidikan.

Nyatanya hak dasarnya terbengkalai. Ia tidak punya akta kelahiran, juga tidak tercantum dalam kartu keluarga (Tirto.id).

Dua dokumen ini bukan sekadar kertas. Ini syarat mutlak masuk sekolah. Ketidakhadirannya menandakan kegagalan administrasi publik. Kegagalan yang sifatnya sistematis.

Lembaga yang seharusnya memastikan identitas warga tidak bekerja sebagaimana mestinya. Akibatnya, akses Zaldin ke pendidikan tertutup rapat.

Dan itu berlangsung bertahun-tahun. Sulit untuk menyebutnya selain sebagai kegagalan total layanan administrasi sipil.

Untungnya, ada pihak yang datang membantu. WVI turun tangan lewat program sekolah keluarga dan upaya pemulihan di Palu (PaluKota.go.id, 2025).

Mereka membantu mengurus dokumen Zaldin. Mereka juga menyediakan seragam dan alat tulis (Tirto.id).

Hasilnya, Zaldin akhirnya bisa bersekolah. Ia mulai belajar di usia 10 tahun. Kabar baik, tentu saja. Juga bukti bahwa intervensi pihak luar bisa efektif.

Tapi justru di sini muncul pertanyaan besar. Mengapa urusan mendasar seperti akta dan kartu keluarga diselesaikan oleh NGO? Mengurus itu tugas pemerintah. Negara berkewajiban membiayai dan menyelenggarakan pendidikan (UUD 1945).

Jika administrasi dibereskan oleh NGO, di mana fungsi pengawasan? Kasus Zaldin perlu kita lihat ulang. Ia bukan sekadar "melawan nasib". Ia berhadapan dengan ketidakhadiran negara.

Dan ini tidak terjadi pada Zaldin saja. Angka putus sekolah di Palu tergolong tinggi. WVI mencatat 117 kasus putus sekolah per pertengahan 2025 (Tirto.id).

Catatan ini berasal dari wilayah dampingan mereka, jadi kemungkinan angka sebenarnya lebih besar. Fenomenanya mirip gunung es. Permukaan terlihat kecil, sisanya menumpuk di bawah.

Masalah lain, data pemerintah setempat tidak sejalan. Lurah Kelurahan Baru mengklaim kasus putus sekolah tinggal "1-2 orang saja" (Tirto.id).

Klaim ini perlu diuji keras. Jarak antara angka WVI dan pernyataan Lurah terlalu lebar.

Ini menandakan persoalan pencatatan yang serius. Akuntabilitas data pemerintah lokal rendah.

Padahal pemerintah wajib memegang data yang akurat. Karena data yang rapi adalah kunci intervensi yang tepat sasaran.

Data Kemendikbud sendiri menunjukkan masih ada anak usia sekolah yang tidak bersekolah, yang lagi-lagi menguatkan pentingnya transparansi data (Kemendikbud).

Di tingkat provinsi, ada program "Berani Cerdas" dari Sulteng. Tujuannya mengatasi masalah pendidikan, terutama bagi keluarga yang tidak mampu (BeraniCerdas.SultengProv.go.id, 2025).

Fokusnya pendidikan gratis dan beasiswa S-1. WVI berupaya bekerja sama dengan program ini (Tirto.id).

Hanya saja, fokus Berani Cerdas lebih banyak di jenjang atas seperti SMA atau SMK dan perguruan tinggi (BeraniCerdas.SultengProv.go.id).

Anak yang putus sekolah di level SD berpotensi luput. Kasus Zaldin adalah contoh nyata.

Kesimpulannya, bola tanggung jawab tetap di tangan pemerintah. NGO bisa jadi pemantik, bukan pengganti.

Pemerintah harus bergerak cepat. Benahi pendataan. Pastikan akses pendidikan benar-benar terbuka untuk semua anak. Itu hak mereka.

Kisah Zaldin seharusnya jadi pengingat pahit, momen untuk menata ulang. Tujuannya sederhana: jangan ada lagi anak yang harus berkelahi melawan ketidakhadiran negara.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun