Fenomena anak bekerja di usia dini itu benar-benar memprihatinkan. Bukan cuma cerita sedih yang lewat. Ini sinyal keras kalau fondasi sistem kita bermasalah.
Kisah Zaldin di Palu hanya satu contoh. Di luar sana, banyak anak mengalami hal serupa. Mereka kehilangan waktu yang mestinya dipakai untuk belajar, bermain, tumbuh dengan tenang (Tirto.id).
Masalah ini sering dipersempit jadi urusan rumah tangga. Uang memang jadi alasan utama, keluarga miskin mengajak anak mencari nafkah.
Tapi berhenti di "karena miskin" itu terlalu dangkal. Ada persoalan yang lebih besar: negara belum hadir menanggung hak-hak dasar.
Ambil kasus Zaldin. Usia 10 tahun seharusnya duduk di bangku sekolah. Ia justru membantu kakeknya melaut, lalu berkeliling menjual makanan.
Hidupnya keras, serba sulit. Uang jajan ia cari sendiri. Beban itu menempel di pundak kecilnya (Tirto.id).
Dari sini tampak dua jenis kelalaian. Pertama, kelalaian di lingkar terdekat. Data WVI menunjukkan masalahnya berlapis.
Orang tua kurang paham soal pengasuhan dan pendidikan. Ada laporan orang tua "tidak memperhatikan anaknya" (Tirto.id). Artinya, faktor sosial ikut bermain. Anak-anak jadi korban dari sikap abai ini.
Kelalaian kedua lebih fatal. Datang dari pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab: pemerintah daerah. Zaldin tinggal di wilayah perkotaan, mestinya mudah dijangkau dinas pendidikan.
Nyatanya hak dasarnya terbengkalai. Ia tidak punya akta kelahiran, juga tidak tercantum dalam kartu keluarga (Tirto.id).
Dua dokumen ini bukan sekadar kertas. Ini syarat mutlak masuk sekolah. Ketidakhadirannya menandakan kegagalan administrasi publik. Kegagalan yang sifatnya sistematis.