Di sisi lain, Garendi memiliki klaim, namun belum punya kekuatan militer.
Pertemuan Garendi dengan laskar Tionghoa menjawab kebutuhan keduanya. Tokoh kuncinya Kapitan Sepanjang.
Ini kerja sama yang sangat strategis (National Geographic Indonesia). Saling menguntungkan dan sangat praktis.
Laskar Tionghoa mendapatkan sosok bangsawan untuk memimpin. Garendi mendapatkan pasukan siap tempur.
Mereka menyatu bukan sekadar karena benci VOC, melainkan karena tujuan politik yang bisa dicapai bersama.
Koalisi ini menggemparkan. Mereka mengguncang kekuasaan Mataram dan menghantam pos-pos VOC.
Puncaknya, Keraton Kartasura jatuh ke tangan mereka pada 30 Juni 1742. Garendi lalu naik takhta. Gelarnya Sunan Amangkurat V, dan ia dikenal sebagai Sunan Kuning (National Geographic Indonesia).
Di tengah pusaran itu, Pakubuwana II menjadi contoh rapuhnya persekutuan masa itu. Mula-mula ia juga menentang VOC.
Begitu posisinya terdesak oleh Garendi, ia berputar haluan, memilih bersekutu dengan Kompeni untuk merebut kembali takhtanya.
Langkah itu menjadi titik balik yang menentukan, cermin betapa cairnya politik ketika itu (Jurnal Undip). Di kalangan bangsawan Jawa, dukungan terhadap Garendi pun tidak solid.
Ia kerap dicap raja pemberontak yang didukung "orang luar" (Historia.id).