Kisah Sunan Kuning sering terdengar gagah. Orang membayangkannya sebagai epik kepahlawanan.
Seorang pangeran muda bernama Raden Mas Garendi memimpin perlawanan besar terhadap VOC. Menyatukan laskar Jawa. Dan menarik laskar Tionghoa yang tertindas untuk ikut bertempur.
Gambaran itu tidak keliru. Hanya saja ceritanya jarang sesederhana itu.
Di belakang panggung, ada politik kekuasaan yang berlapis, ambisi pribadi, dan sengketa antar dinasti yang saling bertaut. Masa itu benar-benar bergolak.
Raden Mas Garendi bukan orang sembarangan. Ia cucu Amangkurat III, raja Mataram yang takhtanya direbut oleh saudaranya sendiri, Pakubuwana I (Kompas.com, 2022).
Jadi Garendi punya klaim kuat. Secara hak, ia merasa berhak atas takhta Mataram. Ibarat api dalam sekam, urusan keluarga itu belum selesai.
Karena itu, perlawanan yang ia pimpin tidak semata urusan melawan penjajah. Ini juga usaha merebut hak yang diyakininya.
Lalu datang Peristiwa Geger Pacinan. Seolah panggung yang disiapkan takdir untuknya.
Geger Pacinan adalah tragedi kemanusiaan. Pemicunya pembantaian etnis Tionghoa di Batavia oleh VOC pada Oktober 1740 (Historia.id).
Mereka yang selamat menyebar ke berbagai daerah di Jawa, lalu mengorganisir diri. Mereka mengangkat senjata.
Tapi mereka paham satu hal: butuh pemimpin dari kalangan bangsawan Jawa agar gerakan mereka punya legitimasi.