Sejarah sering ditulis oleh para pemenang. Akibatnya, panggungnya penuh nama besar, lengkap dengan monumen dan prasasti.
Di belakang layar, ada cerita lain yang jarang disebut. Cerita para pahlawan kecil yang nyaris tak terdengar.
Mereka juga bertaruh nyawa. Sama beratnya. Hanya saja, nama mereka lenyap dari arsip resmi.
Ketika kisah-kisah itu muncul kembali, kita seperti sedang menatap cermin yang pahit. Cermin tentang cara bangsa ini mengenang para pendirinya.
Salah satu kisah yang menempel di benak datang dari The Sin Nio. Perempuan Tionghoa yang berani, yang mimpinya sederhana sekaligus besar: ikut memperjuangkan kemerdekaan (Historia.ID).
Masalahnya, medan perang saat itu bukan ruang yang ramah bagi perempuan. Peran dibatasi urusan rumah. Ada hambatan lain yang tak kalah berat, yaitu identitasnya sebagai keturunan Tionghoa. Kecurigaan rasial membuat posisinya rapuh sejak awal (National Geographic Indonesia).
The Sin Nio tidak mundur. Ia memilih langkah yang tak biasa, dan itu menunjukkan tekadnya yang keras.
Ia menyamar sebagai laki-laki. Rambut dipangkas pendek. Dadanya dibebat agar tampak bidang.
Ia memakai nama Mochamad Moeksin. Dengan identitas baru itu ia diterima bergabung di Resimen 18 Wonosobo.
Di sana ia mengangkat senjata, ikut bertempur, lalu beralih merawat kawan-kawannya yang terluka. Semua ia lakukan untuk Indonesia merdeka (Historia.ID).
Kemerdekaan akhirnya tercapai. Perang usai. Tapi perjuangan Sin Nio belum selesai.
Yang datang justru babak paling melelahkan: berhadapan dengan tembok birokrasi demi pengakuan hak veteran.
Banyak orang menduga ini semata soal diskriminasi. Prasangka terhadap etnis Tionghoa memang nyata dan membebani hidupnya. Namun ceritanya tampaknya lebih rumit dari itu.
Penderitaannya memperlihatkan masalah yang lebih besar. Indonesia waktu itu masih sangat muda.
Pemerintahannya belum rapi. Banyak veteran lain juga terseok-seok, kesulitan membuktikan jasa mereka karena dokumen tidak lengkap atau arsip berantakan.
Kisah Sin Nio menjadi titik temu dua tragedi: diskriminasi yang melukai, dan kegagalan institusi yang belum siap merawat para pejuang.
Kisah pilu ini hampir hilang ditelan waktu. Sampai para budayawan dan peneliti menariknya kembali ke permukaan. Sejarawan Hendra Kurniawan menulis buku yang merekonstruksi narasi komunitas Tionghoa yang tersisih (Hendra Kurniawan, 2020).
Upaya tersebut disambung oleh karya budaya. Ada seri monolog "Di Tepi Sejarah" yang diproduksi Kemendikbudristek, menghadirkan kembali cerita Sin Nio ke hadapan publik (Kemendikbudristek, 2022).
Berkat kerja-kerja semacam ini, jejak perjuangannya tidak padam.
Kisah Sin Nio bukan cuma cerita sedih. Ia adalah pengingat yang terus mengetuk. Sejarah menyisakan banyak ruang kosong.
Ada ribuan pahlawan tanpa nama, dengan jasa yang tak pernah sempat dicatat. Mengingat mereka butuh kerja aktif. Kita mencari jejak, lalu menceritakan dan menghargainya.
Sebab bangsa yang besar tidak lupa. Bangsa yang besar tidak meninggalkan para pahlawannya.
***
Referensi:
- Indonesiana TV. (2022, 1 November). Di Tepi Sejarah #9: SEPINYA, SEPI (The Sin Nio) [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=kYcI9eP69Wc
- Kurniawan, H. (2020). Kepingan narasi Tionghoa: The untold histories. Penerbit KPG.
- Sitompul, M. (2022, 17 Agustus). The Sin Nio, pejuang Tionghoa yang tersisih. Historia.ID. https://historia.id/militer/articles/the-sin-nio-pejuang-tionghoa-yang-tersisih-PzmoA/page/1
- Tridiana, M. (2022, 17 Agustus). Kisah The Sin Nio, pejuang kemerdekaan keturunan Tionghoa yang terlupakan. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/133429813/kisah-the-sin-nio-pejuang-kemerdekaan-keturunan-tionghoa-yang-terlupakan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI