Yang datang justru babak paling melelahkan: berhadapan dengan tembok birokrasi demi pengakuan hak veteran.
Banyak orang menduga ini semata soal diskriminasi. Prasangka terhadap etnis Tionghoa memang nyata dan membebani hidupnya. Namun ceritanya tampaknya lebih rumit dari itu.
Penderitaannya memperlihatkan masalah yang lebih besar. Indonesia waktu itu masih sangat muda.
Pemerintahannya belum rapi. Banyak veteran lain juga terseok-seok, kesulitan membuktikan jasa mereka karena dokumen tidak lengkap atau arsip berantakan.
Kisah Sin Nio menjadi titik temu dua tragedi: diskriminasi yang melukai, dan kegagalan institusi yang belum siap merawat para pejuang.
Kisah pilu ini hampir hilang ditelan waktu. Sampai para budayawan dan peneliti menariknya kembali ke permukaan. Sejarawan Hendra Kurniawan menulis buku yang merekonstruksi narasi komunitas Tionghoa yang tersisih (Hendra Kurniawan, 2020).
Upaya tersebut disambung oleh karya budaya. Ada seri monolog "Di Tepi Sejarah" yang diproduksi Kemendikbudristek, menghadirkan kembali cerita Sin Nio ke hadapan publik (Kemendikbudristek, 2022).
Berkat kerja-kerja semacam ini, jejak perjuangannya tidak padam.
Kisah Sin Nio bukan cuma cerita sedih. Ia adalah pengingat yang terus mengetuk. Sejarah menyisakan banyak ruang kosong.
Ada ribuan pahlawan tanpa nama, dengan jasa yang tak pernah sempat dicatat. Mengingat mereka butuh kerja aktif. Kita mencari jejak, lalu menceritakan dan menghargainya.
Sebab bangsa yang besar tidak lupa. Bangsa yang besar tidak meninggalkan para pahlawannya.