Kisah nelayan yang getir sudah akrab di telinga. Laut seharusnya jadi sumber hidup. Bahkan sumber kemakmuran.
Tapi belakangan, laut terasa menyempit dan penuh ancaman. Banyak jari menunjuk ke proyek-proyek di pesisir.
Proyek besar itu dianggap biang masalah. Reklamasi dan industrialisasi diperlakukan seperti monster yang rakus memakan ruang hidup.
Ruang hidup yang selama ini menjadi milik nelayan tradisional. Pandangan ini bukan tanpa dasar.
Berbagai laporan menegaskan ancaman yang nyata. Termasuk dari proyek strategis nasional yang menekan ekosistem pesisir. Ekosistem laut itulah sandaran hidup para nelayan (WALHI).
Di lapangan, pembangunan yang masif memang berbekas besar. Titiknya ada di garis pantai.
Dulu wilayah tangkap berada dekat dan mudah diakses. Kini sebagian berubah jadi daratan baru.
Beton, pagar, kawasan industri tertutup. Akibatnya, nelayan harus melaju lebih jauh. Menembus laut lepas.
Konsekuensinya jelas. Bahan bakar bertambah. Waktu tergerus. Tenaga terkuras. Biaya operasional terus merangkak.
Sementara hasil tangkapan tidak selalu sepadan dengan risiko. Tekanan ekonomi terasa berat. Banyak yang memilih berhenti dan beralih kerja.
Data resmi ikut menguatkan gambaran ini. Jumlah nelayan di Indonesia menurun secara konsisten dari tahun ke tahun menurut Badan Pusat Statistik.
Tapi, apakah ceritanya sesederhana itu? Apakah satu-satunya yang patut disalahkan adalah industri?
Mungkin kita perlu menatapnya lebih jernih. Masalahnya ternyata lebih rumit.
Ada faktor lain yang tak kalah kuat ikut menekan kehidupan nelayan. Sering luput dari perhatian, padahal dampaknya sangat nyata.
Salah satunya datang dari alam sendiri. Lingkungan berubah terus. Dipicu pemanasan global.
Perubahan iklim bukan isapan jempol. Ini krisis yang benar-benar terasa di perahu-perahu kecil.
Suhu laut menghangat, pola arus makin sulit ditebak. Siklus hidup ikan terganggu. Spesies bermigrasi ke perairan lain.
Cuaca ekstrem lebih sering muncul. Dari badai sampai gelombang tinggi. Melaut menjadi jauh lebih berbahaya dan sukar diprediksi (Mongabay Indonesia, 2023).
Ada juga persoalan dari dalam komunitas. Kita perlu jujur: tidak semua praktik penangkapan berjalan berkelanjutan. Masih ada alat tangkap yang merusak. Seperti bom ikan atau pukat harimau.
Di beberapa wilayah, praktik ilegal ini menguras populasi ikan dan menghancurkan ekosistem yang krusial, misalnya terumbu karang (Greenpeace Indonesia).
Di saat yang sama, profesi nelayan itu berat dan penuh risiko. Wajar jika generasi muda kurang berminat meneruskan jejak orang tua.
Mereka melihat peluang lain di darat yang tampak lebih aman dan lebih modern. Tantangan ini juga diakui pemerintah (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2023).
Kalau begitu, menyalahkan industri saja jelas tidak cukup. Itu tidak menyentuh akar persoalan. Ini bukan sekadar kisah si kecil melawan si besar.
Lebih tepatnya, ini cermin dari kegagalan yang lebih mendasar: negara belum berhasil menata kebijakan secara adil dan berkelanjutan di ruang laut.
Seharusnya ada aturan main yang jelas dan tegas. Pemerintah perlu menetapkan zona-zona spesifik. Berdasarkan kajian ilmiah sekaligus aspirasi masyarakat.
Mana area untuk nelayan tradisional. Mana area untuk industri. Mana ruang untuk pengembangan pariwisata. Dan mana kawasan konservasi yang harus dilindungi.
Tanpa penataan ruang yang rapi, konflik pemanfaatan sumber daya laut akan terus muncul.
Dalam situasi seperti itu, nelayan hampir selalu berada di posisi paling lemah. Nasib mereka adalah cermin betapa kompleksnya masalah ini.
Jika disederhanakan, solusi yang lahir akan dangkal dan tidak efektif.
Yang dibutuhkan adalah kebijakan maritim yang menyeluruh. Mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi. Menjaga kelestarian ekologi. Dan memastikan keadilan sosial bagi masyarakat pesisir.
***
Referensi:
- Badan Pusat Statistik. (2024). Jumlah nelayan penuh dan nelayan sambilan. Diakses pada 5 September 2025, dari https://www.bps.go.id/indicator/56/1922/1/jumlah-nelayan-penuh-dan-nelayan-sambilan.html
- Greenpeace Indonesia. (2021, 15 Juni). Ancaman terbesar bagi laut indonesia adalah penangkapan ikan yang merusak dan berlebihan. Diakses pada 5 September 2025, dari https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/7292/ancaman-terbesar-bagi-laut-indonesia-adalah-penangkapan-ikan-yang-merusak-dan-berlebihan/
- Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2023, 22 Agustus). Regenerasi nelayan muda: Tantangan dan strategi. Diakses pada 5 September 2025, dari https://kkp.go.id/brsdm/artikel/48956-regenerasi-nelayan-muda-tantangan-dan-strategi
- Mongabay Indonesia. (2023, 7 November). Risiko perubahan iklim pada perikanan tangkap dan budidaya perlu dimitigasi. Diakses pada 5 September 2025, dari https://www.mongabay.co.id/2023/11/07/risiko-perubahan-iklim-pada-perikanan-tangkap-dan-budidaya-perlu-dimitigasi/
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. (2023, 28 April). Ancaman industri dan proyek strategis nasional di pesisir dan laut. Diakses pada 5 September 2025, dari https://walhi.or.id/ancaman-industri-dan-proyek-strategis-nasional-di-pesisir-dan-laut
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI