Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mitos Penjajahan Inggris dan Realita Negara Bekas Jajahannya

10 September 2025   23:00 Diperbarui: 3 September 2025   11:28 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang sering berandai-andai tentang sejarah. Salah satu anggapan sering muncul. Anggapan itu tentang masa penjajahan.

Ada yang punya sebuah pemikiran. Mereka pikir Indonesia dijajah oleh Inggris. Pasti sekarang sudah lebih maju.

Pikiran ini lahir dari kekecewaan. Mereka melihat kondisi negara sekarang. Kondisi negara memang masih carut-marut.

Belanda sering jadi kambing hitam utama. Inggris dianggap membawa warisan lebih baik. Namun apakah hipotesis ini benar?

Menjadikan penjajah ukuran kemajuan itu keliru. Semua bentuk kolonialisme bersifat merusak. Tujuannya bukan untuk membangun bangsa.

Tujuan utamanya adalah mengeruk keuntungan. Keuntungan itu demi negara induknya. Oleh karena itu membandingkan penjajah keliru.Keduanya datang mengambil hak bangsa lain. Mereka juga mengambil kedaulatan kita.

Walau demikian, warisan penjajah tidak sama. Mungkin di sinilah letak perbedaannya. Analisis sejarah melihat dampak berbeda.

Ada perbedaan model kolonialisme Inggris. Warisan sistem Inggris dinilai berbeda. Contohnya adalah administrasi dan hukum. Juga sistem pemerintahan yang ada.

Hal ini berbeda dari Belanda. Belanda hanya fokus pada eksploitasi. Fokusnya adalah eksploitasi agraris (Kompas, 2025).

Sistem Inggris dibangun untuk efisiensi. Fondasinya bisa diadaptasi negara baru. Ini adalah analisis sisa sistem.

Bukti di lapangan menunjukkan sebuah fakta. Tidak semua jajahan Inggris maju. Kita bisa lihat banyak contohnya. Contoh itu ada di dunia.

Negara seperti Myanmar dan Uganda ada. Mereka masih berjuang atasi kemiskinan (Jurnal Ilmiah Administrasi dan Sosial).

Di sisi lain ada Singapura. Ada juga negara tetangga Malaysia. Keduanya berhasil mencapai status maju. Status itu menurut data UNDP.

Banyak yang sebut ini karena pemimpin. Kepemimpinan memang variabel yang krusial. Tapi itu bukan satu-satunya penentu.

Faktor lain juga memainkan peran penting. Misalnya seperti posisi geografis negara.

Stabilitas politik juga sangat berpengaruh. Warisan infrastruktur juga ikut menentukan.

Singapura diuntungkan oleh lokasinya. Lokasinya sangat strategis untuk perdagangan.

Penggunaan bahasa Inggris menjadi keuntungan. Keuntungan dalam ekonomi global modern.

Kemajuan negara adalah sebuah mozaik. Tersusun dari banyak kepingan berbeda. Jangan disederhanakan pada satu faktor.

Penting juga membedakan jenis kolonialisme. Para ahli sering membaginya dua tipe.

Ada koloni pemukiman atau settler. Lalu ada koloni eksploitasi sumber daya. Kerangka ini valid dalam ilmu sosial (Insights IAS).

Negara seperti Amerika Serikat ada. Juga Kanada dan negara Australia. Ini contoh koloni tipe pemukiman.

Para pendatang Eropa pindah menetap. Mereka membangun komunitas masyarakat baru. Sebaliknya, Indonesia dan juga India.

Keduanya adalah contoh koloni eksploitasi. Tujuannya murni mengeruk sumber daya. Nasib kedua jenis koloni berbeda.

Pada akhirnya, menyalahkan masa lalu salah. Berandai-andai tentang sejarah tak berguna. Masa depan bangsa ada sendiri. Pemerintah dan masyarakat yang bertanggung jawab.

Namun, memahami warisan kolonial krusial. Tujuannya bukan mencari kambing hitam.

Tujuannya mengerti akar masalah struktural. Sejarah adalah sebuah konteks penting. Sejarah bukanlah sebuah takdir bangsa.

Kemajuan harus selalu diperjuangkan. Bukan hanya diharapkan dari penjajah.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun