Malam satu Suro di Yogyakarta punya wajah berbeda. Ia jauh dari hingar bingar suara terompet. Ia juga jauh dari pesta kembang api.
Pesta itu identik dengan perayaan tahun baru. Wajahnya kini menampilkan suasana yang hening. Di jantung kota ribuan orang berjalan.
Mereka berjalan kaki tanpa mengeluarkan suara. Mereka mengelilingi benteng keraton yang megah. Tradisi ini bernama Mubeng Beteng.
Ini sebuah ritual sarat makna mendalam. Ini adalah sebuah laku budaya hening. Tradisi ini diakui sebagai warisan budaya. Statusnya Warisan Budaya Takbenda (Kemdikbud, 2010).
Tujuannya bukanlah sebuah perayaan meriah. Tujuannya adalah sebuah laku perenungan. Ini upaya untuk bisa merefleksikan diri. Juga untuk melihat jauh ke dalam batin.
Tujuannya menyambut tahun baru penanggalan Jawa. Dengan hati yang kembali menjadi bersih. Serta jiwa yang tenang (Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat).
Suasana yang diharapkan dari prosesi adalah kekhusyukan. Ada sebuah keheningan kolektif yang terasa.
Satu-satunya irama adalah derap langkah kaki. Ribuan kaki itu melangkah di atas aspal. Semangat ini masih dijaga oleh peserta.
Ada para abdi dalem ikut melakukannya. Ini bagian dari sebuah laku pengabdian. Ada pula warga yang memegang tradisi.
Bagi mereka, setiap langkah adalah doa. Setiap momen hening adalah sebuah ibadah. Ini cara terhubung dengan diri sendiri. Juga cara terhubung dengan Sang Pencipta.
Namun, zaman sekarang telah banyak berubah. Di lautan manusia kini hadir peserta baru.