Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjaga Kesakralan Mubeng Beteng dari Gempuran Gawai

8 September 2025   13:00 Diperbarui: 26 Agustus 2025   18:13 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prosesi Mubeng Benteng Karatan Ngayogyakarta Hadiningrat di malam 1 Suro.(Dok.Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat via Kompas.com)

Malam satu Suro di Yogyakarta punya wajah berbeda. Ia jauh dari hingar bingar suara terompet. Ia juga jauh dari pesta kembang api.

Pesta itu identik dengan perayaan tahun baru. Wajahnya kini menampilkan suasana yang hening. Di jantung kota ribuan orang berjalan.

Mereka berjalan kaki tanpa mengeluarkan suara. Mereka mengelilingi benteng keraton yang megah. Tradisi ini bernama Mubeng Beteng.

Ini sebuah ritual sarat makna mendalam. Ini adalah sebuah laku budaya hening. Tradisi ini diakui sebagai warisan budaya. Statusnya Warisan Budaya Takbenda (Kemdikbud, 2010).

Tujuannya bukanlah sebuah perayaan meriah. Tujuannya adalah sebuah laku perenungan. Ini upaya untuk bisa merefleksikan diri. Juga untuk melihat jauh ke dalam batin.

Tujuannya menyambut tahun baru penanggalan Jawa. Dengan hati yang kembali menjadi bersih. Serta jiwa yang tenang (Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat).

Suasana yang diharapkan dari prosesi adalah kekhusyukan. Ada sebuah keheningan kolektif yang terasa.

Satu-satunya irama adalah derap langkah kaki. Ribuan kaki itu melangkah di atas aspal. Semangat ini masih dijaga oleh peserta.

Ada para abdi dalem ikut melakukannya. Ini bagian dari sebuah laku pengabdian. Ada pula warga yang memegang tradisi.

Bagi mereka, setiap langkah adalah doa. Setiap momen hening adalah sebuah ibadah. Ini cara terhubung dengan diri sendiri. Juga cara terhubung dengan Sang Pencipta.

Namun, zaman sekarang telah banyak berubah. Di lautan manusia kini hadir peserta baru.

Mereka adalah generasi muda masa kini. Gerbang mereka bukanlah cerita turun-temurun. Gerbang mereka adalah linimasa media sosial.

Sebuah video tren di TikTok jadi pemicunya. Juga unggahan foto estetik di Instagram. Hal itu diulas (Good News From Indonesia, 2023).

Rasa penasaran menarik mereka untuk datang. Mereka ingin merasakan pengalaman budaya unik. Mereka ingin menjadi bagian keramaian masif. Ribuan warga dilaporkan mengikuti prosesi ini. Mereka tumpah ruah setiap tahunnya (ANTARA News, 2023).

Kehadiran mereka tentu bukanlah hal yang salah. Justru sebaliknya, ini adalah pertanda baik. Tradisi jadi tidak akan pernah mati. Tradisi tidak ditinggalkan oleh perubahan zaman.

Anak muda menunjukkan minat yang besar. Mereka mau datang melihat warisan budayanya. Akan tetapi, fenomena ini memunculkan pertanyaan. Pertanyaan baru yang sifatnya sangat kompleks.

Apakah motivasi mereka selaras esensi ritual? Apakah pengalaman batin yang mereka cari? Ataukah hanya sekadar mencari konten visual?

Batas antara peserta ritual menjadi tipis. Juga batas dengan penonton yang penasaran.

Ketika tradisi menjadi populer dan mudah diakses. Ia berisiko kehilangan ruh sejatinya.

Kekhusyukan bisa tergantikan kilatan kamera ponsel. Keheningan yang sakral bisa saja pecah. Oleh keinginan mengabadikan sebuah momen.

Lalu menampilkannya di dunia maya. Inilah tantangan terbesar di era digital. Yaitu menjaga agar maknanya tidak dangkal.

Mubeng Beteng bukan sekadar jalan-jalan malam. Bukan juga sebuah festival budaya tahunan. Ia adalah laku prihatin yang mendalam. Sebuah proses introspeksi diri (Kompas.com, 2023).

Pada akhirnya, fenomena ini cermin zaman kita. Sebuah gambaran nyata adaptasi tradisi kuno. Tradisi itu terus bernegosiasi dengan modernitas.

Mubeng Beteng hidup di dalam dua dunia. Ada dunia spiritual yang sifatnya sakral. Lalu ada dunia digital yang serba cepat.

Tantangannya bukan melarang antusiasme baru ini. Tantangannya adalah bagaimana cara merangkulnya.

Mengajak mereka yang datang karena penasaran. Agar mau menyelami makna lebih dalam.

Mengubah status dari sekadar ikut-ikutan. Agar menjadi benar-benar paham. Dari hanya seorang penonton. Menjadi pelaku spiritual sejati.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun