Trauma sejarah itu terus direproduksi. Rezim Orde Baru menanamkan stereotip. Itu dilakukan melalui film dan buku (Hypeabis).
Analisis akademik menunjukkan sebuah fakta. Narasi bahaya komunis masih terus digunakan. Bahkan dalam pemilu era medsos (Wadipalapa, 2023).
Ketakutan ini sudah ada di masyarakat. Pemimpin hanya perlu datang menyulutnya. Api kecil diubah jadi kebakaran besar.
Tujuan utama taktik ini perlu dipertanyakan. Apakah tujuannya selalu soal kepatuhan?
Bisa jadi ada agenda pengalihan isu. Amerika Serikat menyerang Afghanistan pasca 9/11. Lalu mereka juga menginvasi negara Irak (Kumparan).
Alasannya beragam, dari teror hingga senjata. Fokus dunia tertuju pada perang teror. Ini jadi justifikasi kebijakan luar negeri.
Dampak sosialnya pun terasa sangat luas. Gejala Islamofobia mulai muncul di Barat. Ada peraturan soal larangan jilbab Prancis. Diskriminasi di Jerman juga meningkat (Utusan Malaysia, 2023).
Kini musuh imajiner baru dimunculkan. Narasinya pun dibuat dengan cara berbeda. Lihat saja contoh soal tudingan 'antek asing'.
Seorang pejabat bisa berteriak soal asing. Anehnya, ia justru bekerja sama dengan asing.
Tuduhan 'antek asing' dialamatkan pada oposisi. Mereka adalah kelompok masyarakat yang kritis. Menyuarakan kritik dianggap tidak loyal (Amnesty International Indonesia, 2025).
Ini adalah sebuah permainan kata cerdik. Seolah-olah ada dua jenis 'pihak asing'. Ada 'asing baik' yang membawa banyak uang. Lalu ada 'asing jahat' yang berani mengkritik. Siapa pun yang kritis bisa dicap musuh.