"Tahu nggak, gaji anggota DPR bisa tembus Rp 100 juta per bulan?"
Kalimat ini sempat jadi pembuka obrolan di mana-mana. Dari warung kopi sampai grup WhatsApp keluarga. Bukan sekadar angka besar. Tapi simbol luka yang kembali menganga.
Di tengah rakyat yang masih berjibaku cari pekerjaan layak. Harga bahan pokok yang terus naik. Dan ketidakpastian ekonomi. Kabar gaji fantastis wakil rakyat terasa seperti tamparan.
Di media sosial, reaksi publik langsung meledak. Ada yang sinis. Ada yang marah. Ada yang geleng-geleng kepala.
Rasanya sulit memahami logika sistem, yang membolehkan seorang digaji Rp 3 juta per hari. Sementara jutaan orang Indonesia masih bertahan hidup dengan gaji Rp 3 juta per bulan. Bahkan kurang.
Bagi sebagian orang, ini bukan isu baru. Polemik soal penghasilan pejabat publik memang selalu jadi bahan pembicaraan sejak dulu.
Tapi tetap saja tiap kali angka besar itu mencuat. Rasa kecewa dan frustrasi rakyat seperti diulang lagi dari awal.
Gaji besar sendiri mungkin bukan masalah utama. Yang lebih menyakitkan adalah kontrasnya.
Ketika rakyat harus memilih antara beli lauk atau bayar sekolah anak. Wakil rakyat bisa tenang menikmati tunjangan perumahan, komunikasi, listrik. Dan segala fasilitas lain. Tanpa rasa gak enakan.
Di sinilah letak masalahnya. Bukan soal nominal. Tapi soal kepekaan. Soal empati. Soal integritas.
Antara Tunjangan Fantastis dan Realita yang Menyakitkan
Secara resmi, gaji pokok anggota DPR itu kecil. Cuma sekitar Rp 4,2 juta per bulan. Tapi siapa pun tahu, angka itu cuma formalitas di atas kertas.
Yang bikin penghasilan mereka membengkak adalah daftar tunjangan yang panjang. Tunjangan jabatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan kehormatan, bantuan listrik, bantuan telepon. Sampai tunjangan perumahan yang bisa puluhan juta per bulan.
Dulu DPR punya rumah dinas yang disediakan negara. Tapi banyak anggota yang ogah menempati. Bahkan ada yang menyewakan atau membiarkan kosong.Â
Akhirnya, rumah dinas itu diganti saja jadi tunjangan perumahan. Hasilnya? Total take-home pay melonjak jadi seratus juta rupiah.
Dan semua itu legal. Resmi. Tapi... pantaskah?
-
Mari kita bandingkan. Upah minimum provinsi (UMP) nasional tahun 2025 rata-rata cuma Rp 3,5 juta. Bahkan di banyak daerah, angkanya masih lebih rendah.
Seorang buruh pabrik di Karawang mungkin hanya bawa pulang Rp 3 juta per bulan. Setelah dipotong ini-itu.
Seorang petani di Indramayu harus kerja sebulan penuh untuk menghasilkan Rp 2 juta.
Nelayan di pesisir utara Jawa? Kadang cuma Rp 1,5 juta. Itu kalau cuaca bersahabat.
Lalu di ujung sana, ada anggota DPR yang bisa dapat Rp 3 juta per hari. Duduk di ruang ber-AC, rapat yang kadang kosong, fasilitas lengkap, dan gaji lancar.
Kontras ini bukan lagi tentang ekonomi. Ini tentang rasa keadilan yang koyak.
-
Salah satu alasan klasik yang sering muncul. Gaji tinggi itu penting supaya mereka nggak tergoda korupsi. Kalau penghasilan cukup, mereka nggak akan "main-main" lagi.
Tapi kenyataannya, sejarah nggak seindah itu. Banyak anggota DPR yang tetap terlibat kasus korupsi, suap, gratifikasi. Bahkan ketika penghasilan mereka udah jauh di atas rata-rata masyarakat.
Jadi jelas, persoalannya bukan cuma besaran gaji. Ini soal sistem akuntabilitas. Soal pengawasan yang lemah. Dan yang paling penting, soal integritas. Tanpa moral yang kuat, angka berapa pun nggak akan cukup.
-
Memang, jadi anggota DPR itu bukan kerjaan ringan. Mereka menyusun undang-undang. Mengawasi jalannya pemerintahan. Menyerap aspirasi rakyat. Bebannya besar. Tapi pertanyaannya. Benarkah semua itu mereka jalani dengan sungguh-sungguh?
Banyak yang merasa, kursi DPR hari ini lebih mirip "ladang penghasilan" daripada "panggung pengabdian". Ketika rakyat sulit makan, mereka sibuk mengatur fasilitas. Ketika rakyat butuh suara, mereka sibuk dengan pencitraan.
Publik nggak butuh wakil yang hidup mewah. Publik butuh wakil yang benar-benar mau mewakili.
Penutup
Gaji seratus juta itu mungkin legal. Sah. Tapi apakah layak secara moral?
Publik bukan sedang iri. Publik sedang muak. Karena yang dilihat bukan cuma slip gaji, tapi sikap.
Bukan cuma angka, tapi jarak yang makin jauh antara penguasa dan rakyatnya. Rakyat cuma ingin satu hal sederhana: kepekaan.
Andai saja setiap angka di slip gaji itu diikuti dengan kerja nyata, transparansi, dan sikap rendah hati. Mungkin polemik ini nggak akan sebesar sekarang.
Tapi yang muncul justru pembenaran. Seolah gaji besar adalah hak mutlak tanpa perlu mempertanggungjawabkan apa pun.
Padahal, kekuasaan yang tanpa empati cuma akan jadi panggung sandiwara. Dan kalau panggung itu terus dibiarkan tanpa koreksi, rakyat akan berhenti menaruh harapan.
Mungkin sudah waktunya para wakil rakyat membuka mata. Bahwa legitimasi bukan soal surat suara. Tapi soal rasa percaya. Dan rasa percaya itu lahir dari sikap adil, jujur, dan penuh pengabdian.
Negara ini butuh lebih dari sekadar legislator bergaji tinggi. Kita butuh wakil rakyat yang benar-benar berpihak, bukan berpura-pura.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI