Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Dari Timor ke Maung, Perjalanan Panjang Mobil Nasional Indonesia

18 Agustus 2025   23:00 Diperbarui: 21 Juli 2025   17:51 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil Pindad Maung MV3 Garuda Limousine. (Dok. PT Pindad via Kompas.com)

Ide mobil nasional terus menjadi perdebatan. Ini sudah berlangsung puluhan tahun di Indonesia. Dari Kijang hingga Esemka, selalu ada harapan. Setiap proyek baru juga memicu keraguan. 

Kini, Maung Garuda dari Pindad kembali hadir. Diskusi ini kembali bangkit. Namun, apakah konsep "mobil nasional" masih relevan? Industri otomotif global terus berubah.

Asumsi di Balik Hasrat "Nasional"

Ada keyakinan mendasar. Memiliki mobil berlabel "nasional" adalah keharusan. Narasi yang berkembang menempatkannya sebagai pencapaian tertinggi. 

Seolah-olah Indonesia belum sepenuhnya mandiri. Tanpa merek mobil sendiri, kita dianggap gagal. Padahal, definisi "mobil nasional" itu kabur (Wikipedia, 2024). 

Jika kita telaah lebih dalam, maknanya tak jelas. Apakah setiap komponen harus buatan dalam negeri? Atau cukup mereknya saja yang lokal?

Contohnya adalah mobil Timor di era 90-an. Proyek ini diatur melalui beberapa regulasi. Ada Inpres No. 2 Tahun 1996. Ada juga Keppres No. 42 Tahun 1996. Regulasi ini menunjuk PT Timor Putra Nasional (TPN). 

TPN menjadi pelopor industri kendaraan nasional. TPN mendapat banyak fasilitas. Ada pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 

Ada juga pembebasan bea masuk komponen impor (Wikipedia, 2024). Mobil ini digadang-gadang sebagai mobil nasional. Namun, sebagian besar komponennya masih impor. 

Mobil Timor S515 adalah contohnya. Itu adalah hasil rebadge dari Kia Sephia. Mobil itu berasal dari Korea Selatan (Intisari, 2023).

Kemudian ada Toyota Kijang. Mobil ini diluncurkan tahun 1977 (Wikipedia, 2024). 

Kijang adalah hasil kemitraan. Mitra itu adalah PT Toyota Astra Motor. Juga dengan Toyota dari Jepang (Hurricane.co.id, Tahun tidak spesifik; Toyota Astra, 2022). 

Sejak awal, Kijang dirakit di Indonesia. Tingkat lokalisasi komponennya terus ditingkatkan. Peningkatan ini dilakukan secara bertahap (Agung Toyota, Tahun tidak spesifik). 

Kijang lalu menjadi simbol industri otomotif lokal (Toyota Astra, 2022). 

Ini menunjukkan sesuatu yang penting. "Nasional" kadang merujuk pada perakitan dalam negeri. Juga pada tingkat lokalisasi komponennya. Bukan pada kepemilikan merek murni. Bukan pula pada desain dari nol.

Ketika Proteksi Berujung Konflik

Upaya menciptakan mobil nasional sering diwarnai proteksionisme. Ini terlihat jelas pada kasus mobil Timor. Pemerintah memberikan insentif pajak. Juga pembebasan bea masuk. Ini tidak adil bagi produsen lain (DetikOto, 2015). 

Tujuannya adalah melindungi "mobil nasional". Agar mobil itu bisa bersaing di pasar. Namun, langkah ini justru memicu kecaman. Kecaman itu datang dari dunia internasional (Kompasiana, 2021; DetikOto, 2015). 

Negara-negara lain melihatnya sebagai praktik diskriminatif.

Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa protes. Mereka mengajukan protes ke WTO (Scribd, Tahun tidak spesifik; Dekannews, Tahun tidak spesifik). 

WTO adalah Organisasi Perdagangan Dunia. Mereka menganggap kebijakan mobil nasional melanggar aturan. Aturan itu adalah aturan perdagangan internasional. 

Pada akhirnya, WTO memutuskan Indonesia bersalah. Indonesia dianggap melanggar aturan (Scribd, Tahun tidak spesifik). 

Ini memaksa penghentian operasi proyek Timor. Indonesia juga diwajibkan mengembalikan pajak. Pajak itu sebesar US$1,3 miliar (Wikipedia, 2024; Scribd, Tahun tidak spesifik). 

Tekanan dari WTO membuat proyek ini kandas. Krisis moneter 1998 juga menjadi penyebabnya.

Pengalaman ini mengajarkan pelajaran penting. Proteksi yang berlebihan bisa menjadi bumerang. Industri otomotif butuh persaingan yang sehat. 

Suatu produk harus bisa bersaing. Baik dari segi kualitas maupun harga. Jika tidak, sulit baginya untuk bertahan. Apalagi di pasar yang sangat terbuka.

Realitas Tantangan Industri Otomotif

Ada banyak faktor penyebab kegagalan proyek mobnas. Keterbatasan teknologi sering disebut. Skala ekonomi juga belum memadai. Regulasi yang tidak konsisten menjadi masalah. 

Ini semua memang benar adanya. Pengembangan teknologi otomotif butuh investasi besar. Waktu yang dibutuhkan juga sangat panjang. 

Indonesia masih tertinggal dalam riset. Terutama jika dibanding dengan negara-negara maju. Statistik investasi R&D otomotif kita belum signifikan. Ini menjadi tantangan yang sangat besar.

Selain itu, industri otomotif butuh produksi massal. Tujuannya untuk mencapai efisiensi biaya. 

Pasar Indonesia memang besar. Namun mungkin belum cukup untuk skala ekonomi optimal. Apalagi jika hanya mengandalkan merek domestik. Terlebih, kebijakan pemerintah sering berubah-ubah. Hal ini bisa membuat para investor ragu.

Namun, faktor eksternal juga berperan besar. Krisis moneter 1998 menghantam semua lini ekonomi. Tekanan dari organisasi perdagangan global seperti WTO. Ini juga membatasi ruang gerak pemerintah. 

Pemerintah jadi sulit menerapkan kebijakan proteksi. Industri otomotif global sendiri sangat kompetitif. Raksasa otomotif dunia sudah puluhan tahun. 

Mereka mengembangkan teknologi dan jaringan produksi global. Sulit bagi pemain baru untuk masuk. Apalagi untuk langsung bersaing tanpa dukungan masif.

Proyek Esemka adalah contoh lainnya. Mobil ini lahir dari inisiatif siswa SMK. Tepatnya siswa-siswi SMK Trucuk pada tahun 2011 (Wikipedia, 2024). 

Esemka sempat menjadi harapan baru. Namun, skala produksi massalnya masih terbatas. Pada tahun 2024, produksi Esemka diperkirakan kecil. Sekitar 300 unit per tahun (Wikipedia, 2024). 

Klaim "merek lokal 100%" belum terwujud. Esemka masih bergantung pada komponen impor (Wikipedia, 2024).

Menggeser Fokus: Dari Merek ke Ekosistem

Mungkin ada baiknya Indonesia mengubah fokus. Jangan terus mengejar mimpi merek "mobil nasional". 

Industri otomotif kita sudah berkembang. Menjadi basis produksi penting bagi merek global. Banyak mobil diekspor dari sini. Ini sudah menciptakan banyak lapangan kerja. Juga terjadi transfer teknologi.

Mungkin, yang lebih penting adalah memperkuat ekosistem. Ekosistem industri otomotif secara keseluruhan. Ini berarti fokus pada pengembangan komponen lokal. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia. 

Terutama di bidang rekayasa dan desain. Memberikan insentif bagi riset dan pengembangan.

Pindad Maung adalah contoh baik dari spesialisasi (Wikipedia, 2024). 

Maung Garuda (MV3) adalah kendaraan taktis 4x4. Kapasitas mesinnya 199 tenaga kuda (HP). 

Dimensinya 5,05 meter panjang. Lebarnya 2,06 meter. Tingginya 1,87 meter. Bobotnya mencapai 2,95 ton. Kecepatan maksimalnya bisa 100 km/jam (Lampost.co, 2024; Auksi.co.id, Tahun tidak spesifik; Tirto, 2024). 

Maung Pindad menunjukkan kemampuan Indonesia. Kemampuan di segmen pasar yang khusus. Indonesia bisa lebih fokus pada segmen tertentu. Misalnya, kendaraan niaga atau kendaraan listrik. Atau kendaraan khusus sesuai kebutuhan lokal.

Kemitraan strategis dengan pemain global bisa diperkuat. Syaratnya adalah alih teknologi. Juga peningkatan tingkat lokalisasi komponen. 

Belajar dari Korea Selatan dan Malaysia. Bukan berarti meniru secara buta. Mereka punya tahapan proteksi yang jelas. Kemudian diikuti dengan keterbukaan pasar.

Jadi, kesulitan memiliki "mobil nasional" ada sebabnya. 

Mungkin bukan karena ketidakmampuan bangsa Indonesia. Lebih karena konsep "mobil nasional" itu sendiri. Konsep itu terjebak dalam romantisme masa lalu. 

Di era globalisasi, persaingan sangat ketat. Investasi teknologi yang masif menjadi penentu. Fokus pada penguatan industri secara menyeluruh. Bukan sekadar pada sebuah merek. Ini bisa jadi jalan ke depan. Jalan yang lebih realistis untuk ditempuh.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun