Jadi, pembentukan kabinet bukan bagi-bagi jabatan. Ini cerminan strategi besar. Strategi untuk hadapi masalah bangsa.
- Orde Lama: Kabinet Gonta-ganti, Politik Goyang
Di awal kemerdekaan, Indonesia menganut sistem parlementer. Sistem ini dikenal Demokrasi Liberal.Â
Artinya, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Bukan hanya kepada presiden.Â
Hal ini menyebabkan kabinet sering berganti. Bayangkan, dari tahun 1945 sampai 1959. Terutama pada periode 1950-1959. Ada tujuh kabinet silih berganti. [Kumparan.com, 2024]Â
Periode ini ditandai ketidakstabilan politik. Politik yang sangat parah. Penyebab utamanya adalah sistem multi-partai. Sistem ini membuat tidak ada partai dominan. Sehingga koalisi yang terbentuk sering rapuh.Â
Perbedaan kepentingan antarpartai juga jadi pemicu. Seringnya mosi tidak percaya dari parlemen. Mosi terhadap kinerja kabinet jadi pemicu utama. Pemicu ketidakstabilan ini. [Kumparan.com, 2023; Gauth, t.t.]
Contohnya adalah Kabinet Natsir. Kabinet ini hanya bertahan sekitar 6 bulan. Tepatnya 15 hari. Dari 7 September 1950 hingga 21 Maret 1951. [Kompas.com, 2021]Â
Pergantian kabinet yang begitu cepat ini punya arti. Politik masih mencari bentuk.Â
Kebijakan sulit berjalan stabil. Rakyat pun sering kali merasa bingung. Mereka tidak punya pegangan kuat. Pegangan terhadap arah pemerintahan.
- Demokrasi Terpimpin: Kekuasaan di Tangan Presiden
Soekarno menyikapi ketidakstabilan di era parlementer. Ia kemudian mengubah sistem. Sistem menjadi Demokrasi Terpimpin pada 1959.Â
Dalam sistem ini, Presiden memegang kendali penuh. Kendali atas pemerintahan. Kabinet menjadi alat presiden. Perubahan ini membawa stabilitas kabinet. Stabilitas yang lebih baik. Namun juga mengurangi kontrol dari parlemen.Â
Partisipasi rakyat dalam politik juga berkurang. Puncaknya, Kabinet Dwikora II dibentuk. Pada 21 Februari 1966. Kabinet ini memiliki 132 menteri. Juga pembantu presiden setingkat menteri. [Sekretariat Kabinet RI, t.t.]Â
Ini adalah kabinet "tergemuk" dalam sejarah. Tujuannya mungkin mengakomodasi berbagai kekuatan. Kekuatan politik dan militer pasca-G30S.Â
Namun, terlalu banyak orang di satu kapal, bisa membuat pergerakan lambat. Pergerakan menjadi kurang efisien.Â
Era ini berakhir dengan gejolak politik. Gejolak yang sangat hebat. Yang mengantarkan pada transisi kekuasaan.
- Orde Baru: Stabil Tapi Kaku
Soeharto datang dengan era Orde Baru. Ia menjanjikan stabilitas politik. Juga menjanjikan pembangunan ekonomi.Â
Kabinetnya, Kabinet Pembangunan, dikenal sangat awet. Kabinet ini berumur panjang. Tercatat ada tujuh Kabinet Pembangunan. Kabinet ini menjabat selama masa Orde Baru. [Kompas.com, 2021]Â
Stabilitas ini memungkinkan pembangunan infrastruktur. Pembangunan yang masif, seperti jalan dan jembatan. Dampaknya terasa hingga kini.Â
Namun, stabilitas ini punya harga mahal. Kebebasan berbicara dan berpendapat sangat dibatasi. Kritik terhadap pemerintah sulit disuarakan. Praktik korupsi mulai marak. Korupsi mengakar di berbagai sektor. [Kemitraan, 2024]Â
Jadi, stabilitas memang penting. Tetapi tanpa kontrol dan akuntabilitas, bisa berbahaya. Berbahaya bagi demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
- Era Reformasi: Lebih Terbuka, Lebih Dinamis
Setelah Orde Baru tumbang pada 1998, era Reformasi dimulai. Pelantikan presiden menjadi lebih terbuka. Pembentukan kabinet juga lebih transparan.Â
Kabinet pada era ini cenderung campuran. Campuran antara politisi dan teknokrat. Teknokrat adalah para ahli di bidangnya. Mereka tidak selalu berafiliasi partai politik.Â
Contohnya adalah Kabinet Indonesia Bersatu. Kabinet era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. [Sekretariat Kabinet RI, t.t.]Â
Contoh lain adalah Kabinet Kerja. Kabinet era Presiden Joko Widodo.
Pembentukan kabinet di era Reformasi punya tujuan.Â
Tujuannya meningkatkan efektivitas pemerintahan. Mendorong tata kelola yang lebih baik. Memastikan menteri yang ditunjuk punya kompetensi. Juga punya profesionalisme di bidangnya. [Liputan6.com, 2024; ResearchGate, 2024]Â
Jumlah kementerian pasca-reformasi cenderung stabil. Stabil di kisaran 30-an. [CNN Indonesia, 2024]Â
Tantangannya juga berbeda. Politik menjadi lebih ramai. Kebebasan berpendapat lebih luas. Kadang kepentingan partai politik bisa dominan.Â
Namun, ini juga sebuah kesempatan. Kesempatan bagi rakyat untuk lebih bersuara. Juga untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Ada upaya meningkatkan efisiensi. Juga tata kelola yang baik.Â
Namun, tantangan korupsi masih jadi PR besar. Terutama di era Reformasi. Ini ditunjukkan oleh Indeks Persepsi Korupsi. Indeks untuk Indonesia stagnan. Bahkan cenderung menurun beberapa tahun terakhir. [Kemitraan, 2024]
Jadi, dari semua cerita ini, kita bisa belajar. Cerita pelantikan dan kabinet ini penting. Pemimpin dan kabinetnya adalah cerminan zaman. Mereka menghadapi tantangan yang berbeda-beda.Â
Tetapi satu hal yang sama. Pilihan mereka memengaruhi hidup kita.Â
Penting bagi kita untuk terus kritis. Kita harus mengawasi dan peduli. Karena masa depan negara ini ada di tangan kita. Tangan kita semua.
Semoga kita makin sadar. Bahwa setiap pelantikan adalah janji baru.Â
Mari kita jaga dan awasi bersama. Demi Indonesia yang lebih baik. Untuk kita semua.
***