Mahasiswa sering merasa beban tugas tidak sepadan. Dengan waktu dan bimbingan yang mereka terima. Sehingga memandang joki sebagai solusi rasional. Untuk sebuah masalah praktis.
Situasi ini diperparah oleh masifnya digitalisasi. Kemudahan akses informasi dan anonimitas di media sosial. Mencipta pasar terbuka bagi penyedia jasa perjokian (Bhinekaswathi & Nurbayani, 2022).
Kehadiran teknologi AI generatif kemudian jadi babak baru. Yang menawarkan joki digital yang lebih murah dan sulit dilacak. Menurunkan ambang batas bagi mahasiswa untuk melakukan pelanggaran integritas.
Di sisi lain, meski sudah ada regulasi seperti Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023. Yang mendorong tugas akhir non-skripsi untuk mengurangi celah perjokian. Namun implementasinya belum merata.
Peraturan tersebut juga menegaskan. Bahwa praktik perjokian melanggar asas kejujuran dalam pendidikan tinggi. Dengan sanksi bisa berujung pada pencabutan gelar (Kemendikbudristek, 2024).
Perjokian bukan hanya soal jalan pintas. Tapi erosi integritas yang mengancam nilai gelar kesarjanaan itu sendiri.
Pertarungan sesungguhnya terjadi bukan saat ujian akhir. Melainkan dalam sunyinya malam. Saat seorang mahasiswa dihadapkan pada pilihan. Antara proses yang sulit dan hasil yang instan.
Pilihan itu yang akan mendefinisikan kualitas mereka. Jauh setelah toga ditanggalkan. Dilema sistemik ini terasa begitu nyata di level individu.
---
Di depan layarnya, Almira menarik napas dalam. Klik. Tab jasa joki itu tertutup. Klik. Tab antarmuka AI itu lenyap. Ia mematikan laptopnya. Suara kipas yang berhenti berputar. Meninggalkan keheningan yang melegakan. Malam itu, ia memilih untuk tidur.
Pagi harinya terasa berbeda. Almira tidak membuka laptop untuk bekerja. Ia meraih ponselnya. Membuka WhatsApp. Mencari nama dosen pembimbingnya.