Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Cuma Malas, Inilah Akar Masalah Perjokian Akademik

23 Juni 2025   13:00 Diperbarui: 22 Juni 2025   19:16 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mahasiswa. (DOK. PIXABAY via KOMPAS.COM)

Bagi banyak mahasiswa tingkat akhir. Malam hari bukan lagi waktu untuk istirahat. Melainkan arena pertarungan sunyi melawan tenggat waktu. Di sanalah, di antara tumpukan revisi dan kelelahan. Sebuah jalan pintas kerap kali berbisik menawarkan kemudahan.

Layar laptop masih menyala. Kursor putih terus berkedip. Dingin. Jam menunjukkan pukul dua pagi. Almira memijat keningnya yang panas. Aroma kopi basi menguar dari meja. 

Tiba-tiba, notifikasi dari lapak TikTok berdenting lagi. Pesanan baru. Matanya melirik nama file di layar. BAB I - FIX REVISI 3.docx. File itu membebaninya.

Ia butuh istirahat sejenak. Jemarinya membuka Instagram. Sebuah iklan langsung muncul. 'Bimbingan Skripsi Cepat & Terpercaya.' Matanya berbinar sejenak. Ponselnya bergetar lagi. 

Pesan dari teman di grup WhatsApp. "Mending pakai AI saja, Mir. Lebih aman. Cepat lagi." Sebuah tautan biru menyertai pesan itu.

Dua jalan pintas. Begitu mudah. Ia membuka kedua tautan itu dalam tab terpisah. Satu tab menampilkan jasa joki. Tab lain, antarmuka kosong ChatGPT. 

Kursornya bergerak ragu di antara keduanya. Almira menarik napas dalam-dalam. Lalu jarinya bergerak meng-klik.

---

Fenomena yang dialami Almira bukan anomali. Melainkan contoh masalah struktural dalam pendidikan tinggi. Yang dikenal sebagai contract cheating. Ini bukan soal kemalasan individu,. Tapi didorong berbagai faktor kompleks.

Riset mengidentifikasi tekanan untuk lulus tepat waktu. Tuntutan pekerjaan paruh waktu. Hingga rendahnya rasa percaya diri dalam kemampuan akademik. Menjadi pendorong utama mahasiswa mencari jalan pintas (Ritonga, dkk., 2024).

Mahasiswa sering merasa beban tugas tidak sepadan. Dengan waktu dan bimbingan yang mereka terima. Sehingga memandang joki sebagai solusi rasional. Untuk sebuah masalah praktis.

Situasi ini diperparah oleh masifnya digitalisasi. Kemudahan akses informasi dan anonimitas di media sosial. Mencipta pasar terbuka bagi penyedia jasa perjokian (Bhinekaswathi & Nurbayani, 2022).

Kehadiran teknologi AI generatif kemudian jadi babak baru. Yang menawarkan joki digital yang lebih murah dan sulit dilacak. Menurunkan ambang batas bagi mahasiswa untuk melakukan pelanggaran integritas.

Di sisi lain, meski sudah ada regulasi seperti Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023. Yang mendorong tugas akhir non-skripsi untuk mengurangi celah perjokian. Namun implementasinya belum merata.

Peraturan tersebut juga menegaskan. Bahwa praktik perjokian melanggar asas kejujuran dalam pendidikan tinggi. Dengan sanksi bisa berujung pada pencabutan gelar (Kemendikbudristek, 2024).

Perjokian bukan hanya soal jalan pintas. Tapi erosi integritas yang mengancam nilai gelar kesarjanaan itu sendiri.

Pertarungan sesungguhnya terjadi bukan saat ujian akhir. Melainkan dalam sunyinya malam. Saat seorang mahasiswa dihadapkan pada pilihan. Antara proses yang sulit dan hasil yang instan.

Pilihan itu yang akan mendefinisikan kualitas mereka. Jauh setelah toga ditanggalkan. Dilema sistemik ini terasa begitu nyata di level individu.

---

Di depan layarnya, Almira menarik napas dalam. Klik. Tab jasa joki itu tertutup. Klik. Tab antarmuka AI itu lenyap. Ia mematikan laptopnya. Suara kipas yang berhenti berputar. Meninggalkan keheningan yang melegakan. Malam itu, ia memilih untuk tidur.

Pagi harinya terasa berbeda. Almira tidak membuka laptop untuk bekerja. Ia meraih ponselnya. Membuka WhatsApp. Mencari nama dosen pembimbingnya.

Jari-jarinya mengetik dengan mantap. "Selamat pagi, Bapak. Mohon maaf mengganggu. Saya Almira. Saya ingin jujur, saya sedang kesulitan membagi waktu antara kerja dan skripsi. Mohon arahan dari Bapak." Pesan terkirim.

Ia meletakkan ponselnya di meja. Ada rasa takut. Tapi ada juga rasa tenangnya. Ia sadar. Ijazah yang didapat dari jalan pintas. Hanya akan jadi kertas kosong yang hampa.

---

Jujur saja. Ilustrasi Almira ini banyak dialami mahaswa. Tekanan dosen dan revisi yang njelimet itu nyata. Pakai joki memang jalan pintas paling sat-set. Tapi ya itu. Ujung-ujungnya cuma dapat kertas. Ilmunya entah ke mana.

Cobalah lihat skripsi bukan sebagai beban. Tapi sebagai gym untuk otak. Momen pusing dan begadang itulah yang menempa kita. Bukan hasil kopas dari AI.

Karena pada akhirnya. Ijazah yang bermakna bukan diperoleh mulus tanpa coretan. Tapi yang ada bekas tumpahan kopi dan jejak air mata perjuangan. Itu baru sarjana, pancen oye!

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun