Di antara tekanan cicilan dan godaan check-out keranjang belanja, ada sebuah dilema sunyi yang menghantui generasi muda. Ini adalah kisah tentang salah satu dari mereka, dan mungkin juga Anda.
Layar ponsel Niko menyala terang. Notifikasi gajian masuk. Angkanya sama seperti bulan lalu. Cukup. Tapi selalu terasa kurang.
Niko membuka galeri hapenya. Sebuah poster konser musik elektronik. Suara bassnya seolah berdentum dari gambar. Tiket paling murah delapan ratus ribu.
'Bayar Kos Tanggal 28'. Kepalanya langsung pening. Menghitung cepat sisa uang. Untuk makan. Transportasi. Kirim sedikit untuk Ibu.
Ia membuka folder 'Rumah Impian'. Gambar rumah mungil bergaya Skandinavia. Lalu ia membuka tangkapan layar simulasi KPR. Deretan angka cicilan membuatnya mual.
Jarak antara gajinya dan angka itu terasa seperti Bumi ke Mars.
Napasnya tercekat. Ia kembali ke aplikasi tiket. Jarinya yang hiperhidrosis melayang satu sentimeter. Di atas tombol 'Bayar Sekarang'.
Tiba-tiba ponselnya bergetar hebat. Dering panggilan dari Rian. Nama temannya itu muncul di layar. Menawarkan dua pilihan. 'Jawab' atau 'Tolak'.
Niko membeku. Ini bukan lagi soal uang. Ini soal hidup untuk siapa. Dan untuk kapan.