Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Retail Therapy Bikin Happy, Asal Jangan Kalap

26 Februari 2025   22:00 Diperbarui: 27 Februari 2025   14:22 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita berbelanja di supermarket.(SHUTTERSTOCK/Odua Images via Kompas.com)

Redakan stres dengan belanja? Simak sisi baik dan buruknya, plus tips agar tetap terkontrol.

Pernah tiba-tiba ingin belanja saat stres? Mungkin karena kerjaan numpuk atau jenuh. Tanpa sadar, buka aplikasi e-commerce atau mampir ke mal, lihat barang lucu. Tahu-tahu, kantong belanjaan sudah penuh. Rasanya lega. Seolah masalah berkurang.  

Ini bukanlah kebiasaan aneh dan ada istilahnya, yaitu retail therapy. Dalam psikologi, belanja dianggap bisa memperbaiki mood. Tapi, apakah benar membantu atau malah bikin kita tambah pusing?  

Kenapa Retail Therapy Bisa Bikin Bahagia?  

Belanja itu menyenangkan, dan ada alasan ilmiahnya. Psikolog Susan Albers dalam Psychology Today menjelaskan bahwa belanja melepaskan hormon bahagia. 

Dopamin, serotonin, dan endorfin membuat kita lebih senang dan mengurangi stres. Itu sebabnya, beli camilan atau aksesoris kecil bisa memperbaiki mood.  

Selain itu, belanja memberi kita rasa kendali. Journal of Consumer Psychology menyebut bahwa memilih barang bisa mengembalikan rasa kontrol saat seseorang merasa stres. 

Mirip dengan perasaan lega setelah merapikan kamar atau menyusun jadwal harian.  

Retail therapy juga bekerja lewat visualisasi positif. Saat melihat baju keren atau gadget baru, kita membayangkan diri lebih percaya diri. Susan Albers mengatakan, bayangan ini mampu meningkatkan suasana hati dan memberi harapan.  

Jadi, retail therapy bukan cuma kebiasaan konsumtif. Ini adalah respons alami otak mencari kenyamanan. Tapi, apakah belanja selalu solusi yang baik? Sayangnya, tidak selalu.  

Ketika Healing Berubah Jadi Masalah  

Retail therapy memang menyenangkan, tapi kalau tidak dikontrol, bisa jadi masalah. Dua hal utama yang perlu diwaspadai adalah belanja kompulsif dan masalah keuangan.  

1. Belanja Kompulsif  

Belanja untuk happy-happy beda dengan belanja karena dorongan emosional. Jika seseorang tak bisa berhenti belanja saat stres, itu bisa jadi tanda compulsive buying disorder.  

Journal of Consumer Psychology menyebut belanja tak terkendali sering dipicu keinginan menghindari emosi negatif. Sayangnya, efek bahagia dari belanja hanya sementara. Setelah beberapa waktu, rasa stres akan kembali, dan keinginan belanja muncul lagi.  

Studi dari Harvard Health Publishing menunjukkan kecanduan belanja mirip kecanduan zat seperti alkohol. Ada dorongan sulit dikendalikan, rasa bersalah setelah belanja, dan kebiasaan mengulanginya meski tahu dampaknya.  

2. Tagihan Menumpuk, Stres Bertambah  

Retail therapy yang tidak terkontrol bisa memperburuk kondisi keuangan. Jika belanja jadi pelarian dari stres, orang cenderung mengeluarkan uang tanpa perhitungan.  

Harvard Health Publishing mencatat banyak orang yang terjebak belanja impulsif kesulitan mengatur anggaran. Penggunaan kartu kredit berlebihan, beli barang tidak perlu, dan rasa menyesal setelah transaksi adalah tanda awal masalah finansial.  

Alih-alih mengurangi stres, retail therapy yang berlebihan justru menambah beban pikiran. Awalnya belanja untuk healing, tapi akhirnya pusing karena saldo menipis dan tagihan membengkak.  

Healing Sehat dengan Belanja dan Alternatifnya  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun