Redakan stres dengan belanja? Simak sisi baik dan buruknya, plus tips agar tetap terkontrol.
Pernah tiba-tiba ingin belanja saat stres? Mungkin karena kerjaan numpuk atau jenuh. Tanpa sadar, buka aplikasi e-commerce atau mampir ke mal, lihat barang lucu. Tahu-tahu, kantong belanjaan sudah penuh. Rasanya lega. Seolah masalah berkurang. Â
Ini bukanlah kebiasaan aneh dan ada istilahnya, yaitu retail therapy. Dalam psikologi, belanja dianggap bisa memperbaiki mood. Tapi, apakah benar membantu atau malah bikin kita tambah pusing? Â
Kenapa Retail Therapy Bisa Bikin Bahagia? Â
Belanja itu menyenangkan, dan ada alasan ilmiahnya. Psikolog Susan Albers dalam Psychology Today menjelaskan bahwa belanja melepaskan hormon bahagia.Â
Dopamin, serotonin, dan endorfin membuat kita lebih senang dan mengurangi stres. Itu sebabnya, beli camilan atau aksesoris kecil bisa memperbaiki mood. Â
Selain itu, belanja memberi kita rasa kendali. Journal of Consumer Psychology menyebut bahwa memilih barang bisa mengembalikan rasa kontrol saat seseorang merasa stres.Â
Mirip dengan perasaan lega setelah merapikan kamar atau menyusun jadwal harian. Â
Retail therapy juga bekerja lewat visualisasi positif. Saat melihat baju keren atau gadget baru, kita membayangkan diri lebih percaya diri. Susan Albers mengatakan, bayangan ini mampu meningkatkan suasana hati dan memberi harapan. Â
Jadi, retail therapy bukan cuma kebiasaan konsumtif. Ini adalah respons alami otak mencari kenyamanan. Tapi, apakah belanja selalu solusi yang baik? Sayangnya, tidak selalu. Â
Ketika Healing Berubah Jadi Masalah Â
Retail therapy memang menyenangkan, tapi kalau tidak dikontrol, bisa jadi masalah. Dua hal utama yang perlu diwaspadai adalah belanja kompulsif dan masalah keuangan. Â
1. Belanja Kompulsif Â
Belanja untuk happy-happy beda dengan belanja karena dorongan emosional. Jika seseorang tak bisa berhenti belanja saat stres, itu bisa jadi tanda compulsive buying disorder. Â
Journal of Consumer Psychology menyebut belanja tak terkendali sering dipicu keinginan menghindari emosi negatif. Sayangnya, efek bahagia dari belanja hanya sementara. Setelah beberapa waktu, rasa stres akan kembali, dan keinginan belanja muncul lagi. Â
Studi dari Harvard Health Publishing menunjukkan kecanduan belanja mirip kecanduan zat seperti alkohol. Ada dorongan sulit dikendalikan, rasa bersalah setelah belanja, dan kebiasaan mengulanginya meski tahu dampaknya. Â
2. Tagihan Menumpuk, Stres Bertambah Â
Retail therapy yang tidak terkontrol bisa memperburuk kondisi keuangan. Jika belanja jadi pelarian dari stres, orang cenderung mengeluarkan uang tanpa perhitungan. Â
Harvard Health Publishing mencatat banyak orang yang terjebak belanja impulsif kesulitan mengatur anggaran. Penggunaan kartu kredit berlebihan, beli barang tidak perlu, dan rasa menyesal setelah transaksi adalah tanda awal masalah finansial. Â
Alih-alih mengurangi stres, retail therapy yang berlebihan justru menambah beban pikiran. Awalnya belanja untuk healing, tapi akhirnya pusing karena saldo menipis dan tagihan membengkak. Â