Di negara-negara maju, negara hadir bukan sekadar pengatur, tapi penjamin hidup manusia dari lahir hingga mati. Negara menanggung semua: pendidikan gratis, kesehatan universal, jaminan sosial, hingga tunjangan pengangguran. Warga tak perlu khawatir akan nasib esok hari, sebab sistem sudah menyiapkan segalanya. Di Skandinavia --- Norwegia, Swedia, Denmark --- juga di Jerman dan Belanda, konsep welfare state telah menjadi fondasi sosial yang kuat.
Mereka membayar pajak tinggi, namun mendapat balasannya: hidup tenang, damai, dan nyaris tanpa kekhawatiran. Namun di tengah kesempurnaan sistem itu, ada ruang kosong yang perlahan membesar --- ruang spiritual. Ketika semua dapat dijelaskan dengan rasionalitas, dan setiap masalah dapat diselesaikan oleh lembaga negara, manusia kehilangan kebutuhan untuk berdoa. Gereja-gereja di Eropa kini banyak berubah fungsi: menjadi museum, galeri seni, atau bahkan kafe. Bukan karena Tuhan mati, tapi karena manusia tak lagi merasa butuh diselamatkan.
Negara telah mengambil peran "penebus" bagi warganya. Ketika sakit --- rumah sakit menanggung. Ketika miskin --- negara memberi tunjangan. Ketika gagal --- sistem memberi kesempatan kedua. Dan di saat segalanya bisa diatur melalui birokrasi, nama Tuhan menjadi sekadar simbol budaya, bukan kebutuhan jiwa.
Indonesia agak sedikit lucu dan berbeda. Negara ini seolah kebal terhadap logika dan keadilan. Kita menyebut diri religius, tapi hidup dalam tatanan yang korup. Pejabat berdoa di depan kamera, tapi di belakang layar bermain angka dan proyek. Tuhan dijadikan pembuka pidato, bukan pedoman keputusan. Ironinya, kalau di negara maju rakyat ditanggung negara, di Indonesia justru pejabat yang ditanggung rakyat --- lewat pajak, subsidi, dan fasilitas negara yang dibungkus atas nama "pengabdian".
Kesejahteraan memang ada, tapi hanya untuk segelintir elite: pejabat, politisi, dan kroni-kroninya. Mereka hidup dalam lingkaran kemewahan yang ditopang pajak rakyat kecil. Sementara di bawah, jutaan orang masih harus berjuang sendiri dengan doa dan ketabahan. Maka tak heran, kita punya dua wajah yang sama-sama menyedihkan: di satu sisi rakyat religius karena miskin, di sisi lain pejabat makmur karena tak takut Tuhan.
Ironi terbesar terjadi ketika politik dinasti yang dulu dianggap tabu kini dipertontonkan dengan rasa bangga. Menyaksikan bagaimana anak presiden ikut mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2024 --- bukan karena prestasi luar biasa, tapi karena akses kekuasaan yang dibuka selebar-lebarnya. Lebih parah lagi, aturan Mahkamah Konstitusi diubah hanya demi memuluskan jalan itu. Ini bukan sekadar soal kualitas atau kompetensi, tapi kenaifan yang dibungkus dengan kata-kata manis, seolah semuanya baik-baik saja.
Padahal bagi rakyat, ini adalah tontonan yang memalukan --- seolah baik-baik saja, sudah kehilangan rasa malu sekaligus gambaran keputusasaan mencari pemimpin ideal yang benar-benar layak dan pantas. Di saat negara maju sibuk mengatur agar warganya hidup makmur, Indonesia justru sibuk mengatur hukum agar kekuasaan tetap dalam lingkar kekuasaan dan lingkar londo ireng yang itu-itu saja.
Di Eropa, ateisme lahir dari kesejahteraan.Di Indonesia, kemunafikan lahir dari kemiskinan moral. Negara maju lupa Tuhan karena sistemnya terlalu sempurna, Indonesia tidak takut Tuhan karena sistemnya terlalu rusak.
Di sana, manusia berhenti berdoa karena tidak butuh. Di sini, manusia berhenti malu karena sudah terbiasa.Dan mungkin di sinilah puncak tragedinya: Negara maju kehilangan iman karena berlebih, Indonesia kehilangan moral karena kekurangan.
"Negara yang terlalu sempurna membuat manusia lupa pada yang Maha Sempurna,tetapi negara yang terlalu bobrok membuat manusia berani menantang yang Maha Kuasa."