Mohon tunggu...
Ahmad nursolih
Ahmad nursolih Mohon Tunggu... writings

knowledge is not values

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ternak Kebodohan; seberapa mengerikannya orang bodoh

15 September 2025   02:10 Diperbarui: 15 September 2025   01:15 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto diambil di buku kiera jogja

"Ternak Kebodohan"
Apakah kondisi sosial-politik dan teknologi saat ini, yang ditandai oleh diseminasi informasi algoritmik dan struktur kekuasaan yang mengandalkan kontrol narasi, secara fundamental telah mengikis otonomi kognitif individu, menjadikan kebodohan terorganisir sebagai ancaman yang lebih eksistensial daripada kejahatan yang terdeteksi?
Mengingat ancaman "kebodohan yang terpelihara" dan pengaruh algoritma media sosial, bagaimana kita dapat membedakan antara informasi yang valid dan narasi yang mengondisikan pikiran, dan apakah kemampuan untuk berpikir secara independen masih dianggap sebagai nilai yang relevan dalam masyarakat modern?
Bisa jadi orang yang kita anggap bodoh ternyata adalah diri kita sendiri.  Menganggap telah memahami sesuatu padahal tidak memahami apa-apa, tanpa aku sadari mungkin aku adalah orang yang paking sok tau daripada yang aku kira.
Sejak lama, Dietrich Bonhoeffer menegaskan bahwa kebodohan lebih berbahaya daripada kejahatan. Kejahatan adalah badai yang terlihat, bisa kita lawan, kita hadapi, dan kita redam. Namun kebodohan adalah kabut yang merayap, menutup cakrawala, hingga kemudi pikiran perlahan berpindah dari tangan pemiliknya. Bukan karena orang kekurangan kecerdasan, melainkan karena hak milik yang paling pribadi, pikirannya, diserahkan pada arus yang lebih besar. Semakin banyak yang menjadi bodoh. Bukan karena mereka bodoh sejak awal. Bukan pula karena mereka tidak memiliki kecerdasan yang cukup. Mereka menjadi bodoh bukan karena otaknya berhenti bekerja, melainkan karena pikirannya berhenti menjadi miliknya sendiri. Rezim totaliter ini bisa mengandalkan kebodohan masal melalui kontrol informasi, propaganda dan hari ini melalui Artificial Intelegen (AI). Jika Kejahatan bisa dideteksi, diadili, dilawan, tetapi kebodohan, kebodohan yang terorganisir, yang dirayakan, yang dijaga oleh struktur sosial, itulah yang menjadi mungkin.
Orang paling berbahaya bukanlah penjahat yang tahu dirinya bersalah, melainkan mereka yang menjalankan kejahatan sambil merasa tak bersalah. Di sinilah kejahatan menjadi bias, menjadi hal yang biasa dan mudah terulang, karena bahaya terbesar muncul ketika kita berhenti melihat "manusia sebagai manusia".
Sebagai contoh, ketika seorang penegak hukum, dalam seragamnya yang seharusnya menjadi perisai keadilan, berujar, "Saya hanya menjalankan tugas," setelah melindas sosok pemuda yang sedang mencari rezeki ditengah aksi masa demontrasi, kita menyaksikan betapa kejamnya sebuah pikiran yang mati. Ini adalah potret kebodohan yang terpelihara sebuah kebodohan yang bukan lahir dari kurangnya pengetahuan, melainkan dari pengabaian sadar akan hakikat kemanusiaan.
Dengan alasan yang sama, kalau kita mencoba untuk melihat ini dalam kehidupan kita sehari-hari, akan sangat banyak muncul dan terlihat kebodohan-kebodohan yang bisa sangat berbahaya tapi tidak kita sadari. Di era Post-Trut ini mulai dari algoritma media sosial yang menciptakan ekosistem kebodohan modern, dimana banyak orang hanya menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, jadinya mungkin saja membuat mereka kehilangan kapasitas untuk berpikir.
Fenomena ini dinamakan sebagai efek echo chamber dimana seseorang terus menerus terpapar oleh sudut pandang yang sejalan dengan keyakinan mereka, baik melalui algoritma yang menyaring konten yang sesuai dengan preferensi mereka ataupun lingkungan sosial yang dia kelilingi dirinya dengan yang hanya mendukung narasi yang dia percayai. Karena algoritma memang bekerja untuk melayani apa yang sudah duluan kita percayai dan sukai, semua halhal yang bertentangan itu, walaupun itu mungkin adalah kebenaran, tidak akan kita temui dan membuat kita secara masal dikondisikan untuk menjadi bodoh dan tidak berpikir.
Theodore addono dan Max Hurrkey melihat benihnya sejak lama, mereka memperingatkan bahwa kapitalisme modern tidak hanya mengontrol tubuh manusia, tetapi juga pikirannya. Industri budaya, film, televisi, dan kini media sosial bukan hanya sekedar hiburan, tapi itu semua membentuk cara berpikir, menciptakan masyarakat yang pasif, konsumtif, dan tidak kritis. Dengan hiburan yang membuat mereka lupa bertanya, lupa mempertanyakan, dan lupa berpikir.
Neil Postman melihat ancaman ini bahwa dalam media modern tidak menekan kebebasan untuk berpikir, ia hanya membuatnya bahwa berfikir adalah tindakan yang tidak relevan. Tidak ada memang yang melarang orang untuk memahami dunia dan berfikir secara bebas, tetapi mengapa scrolling layar jauh lebih mudah? Tidak ada yang melarang mereka untuk berpikir kritis, tetapi selalu ada hiburan tanpa batas yang mengalihkan. Algoritma media sosial tidak pernah melarang seorang pun untuk berpikir, ia hanya membuat berpikir menjadi tidak menguntungkan.
Kita, sebagai musafir di jalan kehidupan, terus merenungi dan mencoba memahami. Namun, seringkali kita terjebak dalam pusaran kebingungan, di mana keanehan menjadi lumrah dan pertanyaan-pertanyaan fundamental tak kunjung menemukan jawaban. Keberanian sejati bukanlah sekadar nyali untuk bertindak atau hanya kekuatan untuk berpikir, melainkan perpaduan harmonis dari keduanya dalam satu titik hening yang konsisten.
Aku menikmati hidupku dengan santai mengikuti arus keadaan dan bermalas-malasan. Ketika sedikit di ingatkan untuk melakukan sesuatu atau di kritik tentang suatu tindakan yang aku lakukan, aku marah dan kesal. Dan kini aku sadar bahwa aku telah menjadi orang bodoh.
Dan mungkin saja satu-satunya cara adalah mengikuti yang dikatakan oleh Bonhover, menyadarkan semua orang untuk kembali berpikir, menyadarkan bahwa berpikir bukanlah hal yang salah, bukanlah hal yang tidak benar untuk dilakukan, dan bukanlah sebuah hal yang mengerikan, karena ketika kepatuhan menjadi kebiasaan, disitu justru kejahatan menjadi banal, dan dunia hanya akan terus menerus mengulangi sejarahnya.
Seperti yang dikatakan oleh kant Sapere Aude! Beranilah berfikir sendiri!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun