Mohon tunggu...
Irzam
Irzam Mohon Tunggu... Pelajar

Seorang awam yang di perintah untuk meningkatkan kualitas golden Generation dan dengan perintah yang telah di lontarkan saya akan berusaha sekuat tenaga ku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Papua dan Ekonomi Destruktif Negara yang Menghambat Pembangunan di Papua

11 Juni 2025   10:15 Diperbarui: 11 Juni 2025   10:15 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentas hasil wawancara dengan narasumber

                                                                                 

Analisis Artikel: "Papua dan Pengabaian 'Nexus' Konflik-Pembangunan" oleh Vidhyandika D. Perkasa

Artikel ini mengangkat persoalan yang sangat krusial terkait hubungan erat (nexus) antara konflik dan pembangunan di Papua, khususnya melalui studi kasus di Kabupaten Jayawijaya. Penulis menunjukkan bahwa pembangunan tidak bisa dilepaskan dari konflik yang telah lama mengakar, dan bahwa konflik di Papua justru tumbuh dari ketimpangan struktural, terutama yang dirasakan oleh Orang Asli Papua (OAP).

1. Konflik sebagai Akibat Ketimpangan dan Pengabaian

Penulis menyoroti bahwa konflik yang terjadi di Papua bukan semata soal ketidakpuasan ekonomi, tetapi juga sebagai respons terhadap ketidakadilan historis dan struktural yang dialami OAP. Ketimpangan yang terjadi bukan hanya soal kebijakan pembangunan yang kurang tepat sasaran, tetapi lebih dalam lagi menyangkut ekonomi politik yang destruktif  di mana kekuasaan politik kerap menjadi alat untuk merampas hak-hak ekonomi dan sosial OAP.

2. Aspek Politik: Akar Konflik dan Kekerasan Turun-temurun

Empat dimensi politik destruktif diuraikan secara sistematis:

Pertama, persoalan sejarah integrasi Papua ke Indonesia yang belum selesai secara batin dan politik di masyarakat Papua.

Kedua, pelanggaran HAM yang belum diselesaikan secara adil, menciptakan trauma kolektif dan dendam antar-generasi.

Ketiga, marjinalisasi politik dan ekonomi, terutama perampasan tanah, eksploitasi sumber daya alam, dan representasi OAP yang terbatas dalam kebijakan pembangunan.

Keempat, politik lokal yang diwarnai konflik kepentingan dan friksi antarsuku yang justru memperkeruh pemerintahan daerah.

Penulis juga menyoroti bahwa budaya "bayar denda" dalam hukum adat, yang digunakan untuk menyelesaikan konflik, secara jangka panjang menghambat penegakan hukum dan rasionalisasi sosial. Alih-alih menciptakan efek jera, sistem ini memperkuat siklus konflik dan penghindaran hukum positif.

3. Politik Identitas dan Xenophobia

Fenomena xenophobia atau sikap curiga terhadap orang luar yang meningkat di Papua menjadi sorotan penting. Sikap ini muncul sebagai bentuk perlindungan diri dari dominasi luar, tetapi dalam praktiknya, menciptakan kerentanan sosial dan ketidakadilan baru terhadap kelompok non-OAP. Contoh konkret seperti penguasaan ojek oleh OAP di Wamena menunjukkan bagaimana politik lokal dan kepentingan elektoral bisa mendukung tuntutan eksklusivitas, bukan keadilan sosial.

4. Aspek Ekonomi: Ketidaktepatan Intervensi dan Distorsi Budaya

Dalam aspek ekonomi, penulis mengkritik pendekatan pembangunan yang terlalu berfokus pada transfer dana besar-besaran, seperti bantuan langsung tunai dan dana desa, tanpa memperhatikan dimensi budaya dan kesiapan masyarakat. Hal ini justru menyebabkan ketergantungan, melemahkan etos kerja, dan memperkuat pola konsumtif masyarakat OAP.

Paradoksnya, karakter sosial OAP yang sangat tinggi---dalam hal membantu sesama---malah membuat dana bantuan cepat habis, bukan untuk pengembangan ekonomi produktif, tetapi untuk memenuhi ekspektasi sosial komunitas. Pemerintah dinilai lalai dalam memahami dan mendampingi masyarakat OAP secara kontekstual.

5. Rekomendasi Solusi: Pendekatan Holistik dan Transformasi Pola Pikir

Penulis menyarankan perlunya solusi yang holistik, terintegrasi, dan kontekstual, yang tidak hanya memenuhi kebutuhan ekonomi atau politik, tetapi juga menyasar pembentukan pola pikir rasional dan kritis di kalangan OAP. Ini mencakup:

Pendekatan pembangunan berbasis potensi lokal.

Pendidikan kontekstual dan berkualitas.

Rekonsiliasi politik dan pengakuan hak-hak OAP.

Transformasi sistem hukum yang harmonis antara hukum adat dan hukum positif.

6. Kesimpulan Umum

Artikel ini mengajak pembaca memahami bahwa masalah Papua tidak bisa disederhanakan sebagai persoalan keamanan atau keterbelakangan ekonomi semata. Konflik dan pembangunan harus dilihat sebagai dua sisi dari satu koin yang saling memengaruhi. Ketika pembangunan tidak adil, maka konflik akan terus menyala. Dan selama konflik tidak ditangani secara adil dan menyeluruh, pembangunan pun akan tetap terhambat.

Papua memerlukan pendekatan baru yang lebih berkeadilan, partisipatif, dan manusiawi, yang mengakui sejarah luka, memperkuat hak-hak OAP, dan membuka ruang dialog serta transformasi sosial.

pada 11 juni 2025, penulis akan menulis artikel berjudul "konflik  dan terhambatnya infastruktur di papua akibat ekonomi politik yang destruktif". seperti gambar yang sudah tertera di atas penulis sedang mewawancarai mahasiswa angkatan 2024 dari kampus UNESA. yang di tanyakan penulis yaitu kasus yang udah tertera di atas di sisi lain saya menanyakan pendapat narasumber terkait ketimpangan tersebut, yang mana pedapat narasumber yang telah penulis wawancarai sangat lah menarik. saya menanyakan 3 komponen pertanyaan yang telah di lontarkan ke narasumber saya. ok langsung saja di sini penulis akan melampirkan respont dari narasumber saya dari kampus UNESA tersebut di antaranya : 

1. Perbedaan Hukum Adat & Hukum Positif
Hukum adat itu berbasis nilai-nilai adat, menjaga keseimbangan, musyawarah, dan pemulihan hubungan. Sedangkan hukum positif lebih individualistik, formal, dan fokus pada sanksi. Masalahnya, aparat hukum sering nggak paham atau kurang menghargai hukum adat, sehingga muncul ketidakpercayaan dari masyarakat.

2. Penguatan Hak nilai-nilai yang menekankan kepentingan bersama & Pembangunan Ekonomi
Pemerintah perlu serius mengakui dan melindungi hak kepentingan bersama supaya masyarakat adat punya kepastian hukum atas tanah mereka. Di sisi lain, pembangunan ekonomi sebaiknya berbasis potensi lokal misalnya pertanian, perikanan, pariwisata  dengan melibatkan OAP secara aktif, termasuk pelatihan dan modal usaha yang sesuai.

3. Dialog Nasional
Perlu ada dialog nasional yang difasilitasi pihak netral, melibatkan semua unsur pemerintah, tokoh adat, agama, akademisi, OAP, dan masyarakat sipil. Dengan dialog yang aman dan terbuka, diharapkan solusi yang adil dan berkelanjutan bisa dicapai.

Kesimpulan

Setelah wawancara tersebut dapat di jelaskan bahwa Permasalahan di Papua tak lepas dari ketegangan antara hukum adat dan hukum positif, di mana hukum adat yang menekankan musyawarah dan pemulihan sering kali tidak dihargai oleh aparat penegak hukum. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum formal.

Dalam konteks pembangunan, penguatan hak atas tanah dan nilai-nilai kolektif masyarakat adat perlu menjadi prioritas. Pembangunan ekonomi harus berbasis potensi lokal dan dilakukan dengan melibatkan OAP secara aktif, melalui pelatihan dan dukungan modal yang tepat.

Akhirnya, untuk mencari solusi menyeluruh, dibutuhkan dialog nasional yang inklusif dan netral. Dialog ini harus melibatkan berbagai elemen pemerintah, tokoh adat, agama, akademisi, hingga masyarakat sipil guna membangun masa depan Papua yang adil, damai, dan berkelanjutan.
                                                                                                                                  


Kesimpulan Hasil Wawancara: Konflik dan Infrastruktur di Papua

Dalam wawancara ini, narasumber Muhammad Alidaitullah, mahasiswa PAI angkatan 2024, menyampaikan pandangannya mengenai tantangan dan solusi terkait konflik serta pembangunan di Papua.

1. Tantangan Penegakan Hukum Positif
Tantangan terbesar dalam menegakkan hukum negara (hukum positif) di Papua adalah minimnya sosialisasi hukum oleh pemerintah, sehingga masyarakat Papua lebih mengandalkan hukum adat yang telah lama mereka kenal dan terapkan. Akibatnya, terjadi resistensi terhadap hukum negara yang belum dianggap relevan dengan kehidupan mereka.

2. Strategi Memperbaiki Iklim Ekonomi Politik
Narasumber menilai bahwa strategi paling efektif adalah dengan sosialisasi berkelanjutan dan pemerataan pembangunan di Papua. Pemerintah perlu menjalin ikatan politik yang sehat dengan Orang Asli Papua (OAP), menghindari kekerasan, dan memberikan pendampingan nyata agar OAP mampu mengelola potensi ekonomi lokal secara mandiri.

3. Langkah Membangun Kepercayaan Negara OAP
Membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat OAP harus dimulai dari komunikasi yang terbuka dan intensif. Pemerintah juga perlu menunjukkan keberpihakan melalui tindakan konkret, seperti pendampingan dan keterlibatan OAP dalam proses pembangunan. Hal ini diharapkan mampu menghilangkan miskomunikasi dan menciptakan hubungan yang harmonis antara negara dan masyarakat Papua.

Demikian hasil wawancara saya dengan narasumber saya apabila ada yang salah atau kurang valid terkait informasi yang di jelaskan sesuai dengan hasil mengutip dari artikel orang kurang lebih nya mohon maaf. assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Article Analysis: "Papua and the Neglect of the Conflict-Development Nexus" by Vidhyandika D. Perkasa

This article highlights a crucial issue concerning the strong interconnection (nexus) between conflict and development in Papua, particularly through a case study in Jayawijaya Regency. The author argues that development cannot be separated from the longstanding conflicts in Papua, and that these conflicts stem from deep-rooted structural inequality, especially as experienced by Indigenous Papuans (OAP).

1. Conflict as a Result of Inequality and Neglect

The author emphasizes that the conflict in Papua is not merely an economic grievance but a response to historical and structural injustice experienced by OAP. The inequality is not just due to poor development policy targeting, but stems from a destructive political economy in which political power has often been used to seize the economic and social rights of Indigenous communities.

2. Political Aspects: Root Causes of Generational Conflict and Violence

Four dimensions of destructive politics are systematically described:

First, the unresolved emotional and political integration of Papua into Indonesia.

Second, unresolved human rights violations that have led to collective trauma and intergenerational resentment.

Third, political and economic marginalization, particularly land dispossession, natural resource exploitation, and the limited representation of OAP in development policy.

Fourth, local politics often characterized by conflicts of interest and inter-ethnic frictions, further worsening local governance.

The article also highlights that the customary "fine-paying" tradition in resolving conflicts has, in the long run, hindered formal legal enforcement and social rationalization. Rather than creating deterrence, it reinforces the cycle of conflict and avoidance of positive law.

3. Identity Politics and Xenophobia

The increasing xenophobia or distrust toward outsiders in Papua is another critical point. While it is a defensive reaction to external dominance, in practice it creates new social vulnerabilities and injustices toward non-OAP groups. A concrete example, such as the exclusive control over motorbike taxi (ojek) services by OAP in Wamena, illustrates how local politics and electoral interests can favor exclusivity over social justice.

4. Economic Aspects: Misdirected Interventions and Cultural Distortion

On the economic front, the author criticizes development approaches that rely heavily on large-scale financial transfers---such as cash aid and village funds---without considering cultural dimensions or local preparedness. This leads to dependency, weakens the work ethic, and promotes a consumptive lifestyle among OAP.

Paradoxically, OAP's strong social values---especially in mutual assistance---cause aid funds to be quickly depleted to meet social expectations, rather than being used for productive economic development. The government is seen as failing to understand and guide OAP communities in a contextual manner.

5. Recommended Solutions: Holistic Approach and Mindset Transformation

The author suggests the need for holistic, integrated, and contextual solutions that go beyond economic or political needs, targeting also the development of rational and critical thinking among OAP. These include:

Development based on local potential.

Contextual, high-quality education.

Political reconciliation and recognition of OAP rights.

Harmonized legal transformation between customary and formal legal systems.

6. General Conclusion

This article encourages readers to understand that the Papua issue cannot be simplified as merely a matter of security or economic backwardness. Conflict and development are two sides of the same coin. Unjust development fuels conflict, and unresolved conflict will continue to hinder development.

Papua requires a new approach---one that is more just, participatory, and humane, that acknowledges its wounded history, strengthens OAP rights, and opens space for dialogue and social transformation.

On June 11, 2025, the author plans to write an article entitled "Conflict and the Obstruction of Infrastructure in Papua Due to Destructive Political Economy". As illustrated above, the author interviewed a student from the 2024 cohort at UNESA regarding the aforementioned issue. The author also asked for the interviewee's opinion on inequality in Papua, and the responses were notably insightful. Three key components were addressed in the interview:

1. Differences Between Customary Law and Positive Law

Customary law is rooted in communal values, emphasizing balance, deliberation, and the restoration of relationships. In contrast, positive law is more individualistic, formal, and focused on sanctions. The problem lies in law enforcers who often fail to understand or respect customary law, leading to public distrust toward the state's legal system.

2. Strengthening Communal Rights and Economic Development

The government must seriously recognize and protect communal rights to ensure legal certainty over Indigenous lands. Economic development should be based on local potential---such as agriculture, fisheries, and tourism---while actively involving OAP through training and appropriate financial support.

3. National Dialogue

A national dialogue facilitated by neutral parties is needed, involving government representatives, traditional leaders, religious figures, academics, OAP, and civil society. Through a safe and open dialogue, fair and sustainable solutions may be achieved.

Conclusion

The interview highlights that Papua's challenges cannot be separated from the tension between customary and positive law. Customary law, which emphasizes dialogue and reconciliation, is often disregarded by law enforcement, leading to distrust toward the formal legal system.

In terms of development, strengthening communal land rights and Indigenous collective values should be prioritized. Economic development must be based on local potential and involve OAP through training and suitable financial support.

Ultimately, a comprehensive solution demands an inclusive and neutral national dialogue, involving all relevant stakeholders to build a fair, peaceful, and sustainable future for Papua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun