Penulis juga menyoroti bahwa budaya "bayar denda" dalam hukum adat, yang digunakan untuk menyelesaikan konflik, secara jangka panjang menghambat penegakan hukum dan rasionalisasi sosial. Alih-alih menciptakan efek jera, sistem ini memperkuat siklus konflik dan penghindaran hukum positif.
3. Politik Identitas dan Xenophobia
Fenomena xenophobia atau sikap curiga terhadap orang luar yang meningkat di Papua menjadi sorotan penting. Sikap ini muncul sebagai bentuk perlindungan diri dari dominasi luar, tetapi dalam praktiknya, menciptakan kerentanan sosial dan ketidakadilan baru terhadap kelompok non-OAP. Contoh konkret seperti penguasaan ojek oleh OAP di Wamena menunjukkan bagaimana politik lokal dan kepentingan elektoral bisa mendukung tuntutan eksklusivitas, bukan keadilan sosial.
4. Aspek Ekonomi: Ketidaktepatan Intervensi dan Distorsi Budaya
Dalam aspek ekonomi, penulis mengkritik pendekatan pembangunan yang terlalu berfokus pada transfer dana besar-besaran, seperti bantuan langsung tunai dan dana desa, tanpa memperhatikan dimensi budaya dan kesiapan masyarakat. Hal ini justru menyebabkan ketergantungan, melemahkan etos kerja, dan memperkuat pola konsumtif masyarakat OAP.
Paradoksnya, karakter sosial OAP yang sangat tinggi---dalam hal membantu sesama---malah membuat dana bantuan cepat habis, bukan untuk pengembangan ekonomi produktif, tetapi untuk memenuhi ekspektasi sosial komunitas. Pemerintah dinilai lalai dalam memahami dan mendampingi masyarakat OAP secara kontekstual.
5. Rekomendasi Solusi: Pendekatan Holistik dan Transformasi Pola Pikir
Penulis menyarankan perlunya solusi yang holistik, terintegrasi, dan kontekstual, yang tidak hanya memenuhi kebutuhan ekonomi atau politik, tetapi juga menyasar pembentukan pola pikir rasional dan kritis di kalangan OAP. Ini mencakup:
Pendekatan pembangunan berbasis potensi lokal.
Pendidikan kontekstual dan berkualitas.
Rekonsiliasi politik dan pengakuan hak-hak OAP.