Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis Hadiwaluyo
Akhmad Mukhlis Hadiwaluyo Mohon Tunggu... Journalist

Sampai jauh, jauh di kemudian hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebebasan Berpikir dan Tirani Kampus Peradaban

2 Januari 2025   20:09 Diperbarui: 23 Juli 2025   00:37 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Mukhlisalyo

Kampus — sering disebut sebagai mimbar akademik, ruang dialektika, bahkan pusat peradaban. Namun apakah semua itu sekadar jargon kosong tanpa isi? Ketika realitas yang dihadapi mahasiswa berbicara tentang represi, pembungkaman, dan kekerasan, maka kita perlu dengan jujur bertanya: Apakah kita masih pantas menyebut kampus sebagai ruang peradaban?

Kebebasan Berpikir yang Dirampas dalam Sunyi

Kebebasan berpikir bukan sekadar hak, ia adalah pondasi dari eksistensi pendidikan tinggi. Di kampus, mahasiswa diharapkan menjadi individu yang mampu berpikir kritis, menyusun nalar, dan menawarkan solusi bagi persoalan masyarakat. Namun realitas di berbagai perguruan tinggi di negeri ini menunjukkan sebaliknya. Diskusi publik dibatasi, ruang berkumpul dibubarkan, dan organisasi mahasiswa dicurigai.

Ketika mahasiswa baru dilarang berkumpul tanpa izin, ketika spanduk diskusi harus melalui kurasi birokrasi kampus, maka kita tengah menyaksikan bagaimana kampus menciptakan iklim ketakutan yang tersembunyi di balik kesan tertib. Padahal, justru dari diskusi dan kebebasan berpikir-lah sebuah masyarakat kampus dapat hidup dan berkembang. Apalah arti akreditasi unggul dan fasilitas lengkap, jika pikiran mahasiswanya tidak pernah dibiarkan tumbuh dengan bebas?

Represi dan Kekerasan: Luka Kolektif Mahasiswa

Lebih dari sekadar larangan administratif, represi terhadap mahasiswa kini telah menjelma menjadi kekerasan yang kasat mata. Mahasiswa yang mencoba menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi tak jarang menjadi korban intimidasi dan kekerasan fisik. Ada yang dipukul, diseret, dan diancam. Bahkan ada yang mengalami persekusi verbal dari mereka yang seharusnya menjadi pelindung dan pendidik.

Lebih mengerikan lagi adalah ketidakpedulian. Birokrasi kampus bungkam saat mahasiswa mengalami luka — fisik maupun psikologis. Laporan-laporan kekerasan disangkal, dilenyapkan, atau dianggap “biasa”. Kepercayaan mahasiswa terhadap institusi pendidikan runtuh bukan karena provokasi dari luar, melainkan dari perlakuan kampus yang memperlakukan mereka sebagai ancaman, bukan sebagai manusia yang berpikir.

Dilarang Berorganisasi: Membungkam Nalar Kolektif

Organisasi kemahasiswaan adalah jantung dari kehidupan kampus. Ia adalah ruang belajar alternatif, tempat mahasiswa membentuk karakter, memahami tanggung jawab sosial, dan membangun solidaritas. Namun kini, organisasi mahasiswa berada dalam cengkeraman birokrasi. Larangan terhadap organisasi ekstra kampus, pembatasan kegiatan, bahkan pembakaran atribut organisasi oleh dosen adalah bentuk brutalisme simbolik terhadap ruang-ruang belajar mahasiswa.

Birokrasi kampus telah menjelma menjadi penjaga ideologis, yang hanya mengizinkan kegiatan yang mendukung reputasi institusi, bukan mendukung kebebasan berpikir. Semua aktivitas harus patuh pada satu hal: citra kampus. Ketika mahasiswa menantang status quo, mereka dianggap subversif, diradikalisasi, bahkan dikriminalisasi.

Dan ketika dosen — sang pemandu ilmu — justru menjadi pelaku dalam tindakan represif ini, maka mahasiswa kehilangan role model yang seharusnya mendampingi, bukan membungkam.

Kampus Peradaban: Narasi yang Dipatahkan Realitas

Istilah “kampus peradaban” kini terasa pahit di lidah mahasiswa yang hidup dalam tekanan. Peradaban sejati lahir dari keberanian untuk berbeda, untuk bersuara, dan untuk menolak ketidakadilan. Jika kampus gagal memberikan ruang bagi ekspresi, gagal melindungi hak-hak dasar, dan justru melanggengkan budaya feodalistik, maka gelar itu hanya tinggal mitos.

Kampus tidak boleh sekadar menjadi ruang indah dengan taman hijau, wi-fi cepat, dan fasilitas modern. Peradaban tidak dibentuk oleh kenyamanan fisik, tapi oleh kebebasan dan keberanian moral. Ketika mahasiswa lebih sibuk mencemaskan ancaman skorsing daripada memikirkan gagasan perubahan, maka kampus telah gagal menjalankan misinya sebagai tempat pendidikan sejati.

Menggugah Harapan, Memulai Perlawanan Intelektual

Namun dalam kondisi yang kelam ini, harapan tidak pernah mati. Setiap tindakan represif yang diterima mahasiswa adalah bahan bakar untuk membentuk kesadaran kolektif. Mahasiswa tidak boleh membiarkan luka itu membatu dalam diam. Mahasiswa harus menjadikannya alasan untuk bangkit, untuk menggugat, untuk menulis sejarah baru tentang pendidikan yang adil dan membebaskan.

Kita, mahasiswa, berhak mengkritik. Kita berhak menolak kekuasaan yang semena-mena. Kita berhak membela kawan-kawan kita yang diintimidasi. Karena pada akhirnya, jika kita tidak memperjuangkan kebebasan berpikir hari ini, maka generasi sesudah kita hanya akan mewarisi ketakutan.

Refleksi dan Seruan

Tanyakan kepada dosen-dosen di kampus:

Apakah kampus kita melahirkan keberanian atau ketundukan?

Apakah diskusi di kelas menantang pikiran atau justru membentuk dogma?

Apakah organisasi mahasiswa menjadi ruang pembelajaran atau sekadar boneka birokrasi?

Apakah kita sedang mendidik manusia merdeka atau manusia patuh?

Jika jawabannya menyakitkan, maka suara kita tak boleh bungkam.

Karena mempertahankan kebebasan berpikir bukanlah bentuk pembangkangan, tapi adalah bentuk tertinggi dari cinta terhadap ilmu pengetahuan dan masa depan manusia.

“Kampus adalah ladang peradaban, dan mahasiswa adalah benih perubahan. Jika ladangnya dipenuhi racun otoritarianisme, maka benih-benih itu takkan pernah tumbuh.”

Maka tanamlah keberanian hari ini — agar besok, kita menuai kampus yang benar-benar merdeka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun