Dan ketika dosen — sang pemandu ilmu — justru menjadi pelaku dalam tindakan represif ini, maka mahasiswa kehilangan role model yang seharusnya mendampingi, bukan membungkam.
Kampus Peradaban: Narasi yang Dipatahkan Realitas
Istilah “kampus peradaban” kini terasa pahit di lidah mahasiswa yang hidup dalam tekanan. Peradaban sejati lahir dari keberanian untuk berbeda, untuk bersuara, dan untuk menolak ketidakadilan. Jika kampus gagal memberikan ruang bagi ekspresi, gagal melindungi hak-hak dasar, dan justru melanggengkan budaya feodalistik, maka gelar itu hanya tinggal mitos.
Kampus tidak boleh sekadar menjadi ruang indah dengan taman hijau, wi-fi cepat, dan fasilitas modern. Peradaban tidak dibentuk oleh kenyamanan fisik, tapi oleh kebebasan dan keberanian moral. Ketika mahasiswa lebih sibuk mencemaskan ancaman skorsing daripada memikirkan gagasan perubahan, maka kampus telah gagal menjalankan misinya sebagai tempat pendidikan sejati.
Menggugah Harapan, Memulai Perlawanan Intelektual
Namun dalam kondisi yang kelam ini, harapan tidak pernah mati. Setiap tindakan represif yang diterima mahasiswa adalah bahan bakar untuk membentuk kesadaran kolektif. Mahasiswa tidak boleh membiarkan luka itu membatu dalam diam. Mahasiswa harus menjadikannya alasan untuk bangkit, untuk menggugat, untuk menulis sejarah baru tentang pendidikan yang adil dan membebaskan.
Kita, mahasiswa, berhak mengkritik. Kita berhak menolak kekuasaan yang semena-mena. Kita berhak membela kawan-kawan kita yang diintimidasi. Karena pada akhirnya, jika kita tidak memperjuangkan kebebasan berpikir hari ini, maka generasi sesudah kita hanya akan mewarisi ketakutan.
Refleksi dan Seruan
Tanyakan kepada dosen-dosen di kampus:
Apakah kampus kita melahirkan keberanian atau ketundukan?
Apakah diskusi di kelas menantang pikiran atau justru membentuk dogma?