"Kadang, untuk menemukan cahaya, kita harus berani melangkah ke lorong-lorong sunyi di mana hanya suara hati yang menjadi kompas." - Ahmad Husen
Mengikuti Jejak Cahaya di Lorong-Lorong Sunyi
(Pembukaan & Kesadaran Awal – Trilogi Cahaya: Misi Perjalanan Jiwa Menuju Kedamaian, Keadaban, dan Keabadian)
Prolog
Setelah nyala pertama menyentuh relung jiwa, langkah kita tak lagi sama. Ada arah baru yang memanggil—tidak menuju keramaian, tetapi ke lorong-lorong sunyi yang menyimpan jejak cahaya. Di sinilah perjalanan kita berlanjut: belajar mendengarkan suara hati, membaca tanda-tanda halus, dan melatih ketenangan batin untuk menuju peta rahasia yang hanya dapat dibaca oleh hati yang tenang.
Ada saatnya setelah nyala pertama menyentuh relung jiwa, kita tak lagi bisa berpaling. Sesuatu di dalam diri mulai memanggil untuk berjalan. Bukan berjalan di jalan yang penuh keramaian, melainkan menapaki lorong-lorong sunyi yang tidak semua orang mau atau mampu memasukinya.
Lorong sunyi itu bukan sekadar tempat. Ia adalah keadaan batin. Kita bisa berada di tengah pasar yang hiruk-pikuk, tetapi tetap berjalan di lorong sunyi di dalam hati. Kita bisa berada di tengah pesta penuh sorak, namun di dalam diri kita mendengar hanya desir halus doa yang tak terdengar orang lain.
Dari Nyala ke Jejak
Artikel pertama kita berbicara tentang momen sakral: saat nyala pertama mengetuk hati. Namun nyala itu hanyalah awal. Setelahnya, ada perjalanan. Dan perjalanan ini meninggalkan jejak—jejak cahaya yang harus kita ikuti agar tidak tersesat.
Jejak ini sering kali samar. Tidak ada papan penunjuk atau peta resmi. Ia hanya bisa dilihat oleh hati yang mau mendengar, oleh mata yang terbiasa memandang dalam diam.