Di tengah badai yang mengguncang jiwa, selalu ada pelita kecil yang bisa dinyalakan. Pertanyaannya: maukah kita menjaganya tetap menyala?
Pernahkah Anda merasa dunia seakan runtuh di hadapan mata, tapi di sudut hati yang paling gelap, ada cahaya kecil yang enggan padam? Badai memang menguji, tapi pelita itu—sekecil apapun—selalu menunggu untuk kita nyalakan.
Hidup tidak selalu berjalan di bawah langit biru. Ada masa ketika awan hitam menggulung, petir menyambar, dan hujan deras tak memberi jeda. Kita berjalan tertatih, bertanya-tanya apakah langkah berikutnya masih mungkin diambil. Dalam momen-momen seperti inilah, Trilogi Cahaya menemukan bab ketiganya: Menyalakan Pelita di Tengah Badai.
Badai yang Tak Diundang
Badai dalam hidup bisa datang dari mana saja: kehilangan orang yang kita cintai, runtuhnya impian yang telah lama kita bangun, atau bahkan pertarungan batin yang tak pernah kita ceritakan pada siapapun. Badai tidak meminta izin, ia datang dan memporak-porandakan.
Namun badai juga membawa sebuah pilihan: menyerah pada gelap, atau mencari secercah cahaya yang tersisa.
Pelita: Simbol Harapan yang Membumi
Dalam tradisi Nusantara, pelita sering dinyalakan di beranda rumah atau di jalan setapak saat malam pekat. Ia memberi tanda bahwa ada arah, ada tujuan, dan ada kehidupan. Pelita bukan hanya simbol penerangan, tapi juga doa tanpa kata—sebuah keyakinan bahwa meski gelap, terang akan kembali.
Badai dalam hidup bisa membuat kita kehilangan orientasi. Namun pelita di hati—keyakinan kecil bahwa kita masih bisa bertahan—bisa menjadi penuntun.
Menyalakan Pelita dari Dalam