Mohon tunggu...
Ahmad Gufron
Ahmad Gufron Mohon Tunggu... peneliti madya

menulis dan analisa politik, ekonomi dan pertanian, hukum agama islam

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari emosi ke solusi : Menata ulang budaya demokrasi indonesia

22 September 2025   09:28 Diperbarui: 22 September 2025   09:28 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demonstrasi adalah wajah demokrasi. Demo adalah hak rakyat yang dijamin konstitusi, sarana untuk menyampaikan aspirasi, kritik, bahkan protes. Namun, di Indonesia, terlalu sering demonstrasi berubah menjadi kerusuhan: halte dibakar, kantor dirusak, jalanan dipenuhi kaca pecah. Alih-alih aspirasi didengar, yang tersisa hanyalah trauma dan kerugian. Mengapa ini terus terjadi, dan bagaimana jalan keluar agar demokrasi tetap hidup tanpa anarkhi?

Luka yang Tercatat: Data Kerusakan Fasum

Setiap kali demonstrasi berakhir ricuh, negara dan rakyat menanggung biaya sosial dan material yang tidak sedikit. Beberapa catatan:

  • 1998: kerusuhan besar menyebabkan ribuan toko, kantor, dan fasilitas umum terbakar, kerugian diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
  • 2019 (Demo Revisi UU KPK): halte TransJakarta di Jakarta dirusak dan dibakar, biaya rehabilitasi mencapai Rp25 miliar.
  • 2020 (Demo Omnibus Law): puluhan halte, pos polisi, taman kota, dan gedung rusak. Pemprov DKI mengalokasikan lebih dari Rp65 miliar untuk perbaikan.
  • 2022 (Demo BBM & isu lain): kerusakan fasilitas umum dan kendaraan operasional aparat menimbulkan kerugian hingga puluhan miliar rupiah.

Bayangkan, uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, memperbaiki rumah sakit, atau membiayai beasiswa, justru terkuras untuk mengganti kursi, kaca, dan halte yang dibakar.

Kenapa Mudah Rusuh?

Fenomena ini setidaknya dipicu oleh empat faktor:

  1. Budaya Ekspresi Emosional
    Masyarakat kita terbiasa menyalurkan kemarahan dengan cara fisik. Energi massa mudah meledak bila ada percikan kecil.
  2. Provokator & Penunggang Gelap
    Banyak peserta demo datang dengan niat damai. Namun, kehadiran provokator yang menyusup dengan agenda politik atau kepentingan tertentu sering mengubah suasana menjadi anarkhis.
  3. Kurangnya Kanal Aspirasi yang Efektif
    Rakyat kerap merasa suara mereka tak pernah sampai. Demonstrasi jadi jalan pintas, tapi tanpa manajemen, ia mudah keluar jalur.
  4. Pengaruh Media Sosial
    Hoaks dan ujaran provokatif di medsos memperkeruh situasi. Jejak digital sering menunjukkan, sebagian besar kerusuhan dimulai dari provokasi daring.

Islam dan Budaya Nusantara: Santun, Bukan Anarkhi

Mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim, dan Islam sangat jelas menolak perusakan:

"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya..." (QS. Al-A'raf: 56)

Rasulullah SAW bersabda:
"Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya." (HR. Bukhari & Muslim)

Artinya, menyampaikan kritik boleh, bahkan mulia. Tetapi merusak, membakar, atau menjarah sama sekali bertentangan dengan ajaran agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun