Demonstrasi adalah wajah demokrasi. Demo adalah hak rakyat yang dijamin konstitusi, sarana untuk menyampaikan aspirasi, kritik, bahkan protes. Namun, di Indonesia, terlalu sering demonstrasi berubah menjadi kerusuhan: halte dibakar, kantor dirusak, jalanan dipenuhi kaca pecah. Alih-alih aspirasi didengar, yang tersisa hanyalah trauma dan kerugian. Mengapa ini terus terjadi, dan bagaimana jalan keluar agar demokrasi tetap hidup tanpa anarkhi?
Luka yang Tercatat: Data Kerusakan Fasum
Setiap kali demonstrasi berakhir ricuh, negara dan rakyat menanggung biaya sosial dan material yang tidak sedikit. Beberapa catatan:
- 1998: kerusuhan besar menyebabkan ribuan toko, kantor, dan fasilitas umum terbakar, kerugian diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
- 2019 (Demo Revisi UU KPK): halte TransJakarta di Jakarta dirusak dan dibakar, biaya rehabilitasi mencapai Rp25 miliar.
- 2020 (Demo Omnibus Law): puluhan halte, pos polisi, taman kota, dan gedung rusak. Pemprov DKI mengalokasikan lebih dari Rp65 miliar untuk perbaikan.
- 2022 (Demo BBM & isu lain): kerusakan fasilitas umum dan kendaraan operasional aparat menimbulkan kerugian hingga puluhan miliar rupiah.
Bayangkan, uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, memperbaiki rumah sakit, atau membiayai beasiswa, justru terkuras untuk mengganti kursi, kaca, dan halte yang dibakar.
Kenapa Mudah Rusuh?
Fenomena ini setidaknya dipicu oleh empat faktor:
- Budaya Ekspresi Emosional
Masyarakat kita terbiasa menyalurkan kemarahan dengan cara fisik. Energi massa mudah meledak bila ada percikan kecil. - Provokator & Penunggang Gelap
Banyak peserta demo datang dengan niat damai. Namun, kehadiran provokator yang menyusup dengan agenda politik atau kepentingan tertentu sering mengubah suasana menjadi anarkhis. - Kurangnya Kanal Aspirasi yang Efektif
Rakyat kerap merasa suara mereka tak pernah sampai. Demonstrasi jadi jalan pintas, tapi tanpa manajemen, ia mudah keluar jalur. - Pengaruh Media Sosial
Hoaks dan ujaran provokatif di medsos memperkeruh situasi. Jejak digital sering menunjukkan, sebagian besar kerusuhan dimulai dari provokasi daring.
Islam dan Budaya Nusantara: Santun, Bukan Anarkhi
Mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim, dan Islam sangat jelas menolak perusakan:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya..." (QS. Al-A'raf: 56)
Rasulullah SAW bersabda:
"Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya." (HR. Bukhari & Muslim)
Artinya, menyampaikan kritik boleh, bahkan mulia. Tetapi merusak, membakar, atau menjarah sama sekali bertentangan dengan ajaran agama.